Jakarta (Greeners) – Permasalahan tata kelola sawit terus bergulir setiap tahun. Salah satunya adalah keberadaan kebun sawit di kawasan hutan, yang menurut hukum di Indonesia merupakan sebuah fenomena ilegalitas. Untuk membahas hal tersebut, Panitia Kerja (Panja) Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengundang sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), akdemisi, dan asosiasi untuk membicarakan permasalahan tersebut yang bersinggungan dengan Undang-undang Cipta Kerja pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penggunaan dan Pelepasan Kawasan Hutan Komisi IV DPR RI (12/11/2020).
Ketua Auriga Nusantara, Timer Manurung, mengatakan total pelepasan kawasan hutan saat ini sejumlah 7,2 juta ha. Paling banyak berada di Provinsi Sumatra dan Kalimantan. Dari jumlah tersebut setidaknya 5 juta ha pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Salah satu alasannya, menambah pasokan minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) untuk bahan bakar biodiesel berbasis kelapa sawit.
“Menurut hitungan kami, sampai target B50 kita tidak perlu menambah luas kebun sawit. Bahkan B100, kalau kita mau, bisa ekspor CPO-nya. Selain itu, setidaknya ada 2 juta-an hektar tutupan lahan sawit tanpa tuan, artinya perusahaan menanam di luar izinnya. Menurut kami, seharusnya pemerintah bisa menyita lahan tersebut untuk diberikan ke Bumdes (Badan Usaha Desa) atau masyarakat. Daripada dikelola perusahaan, tapi tidak masuk kepada penerimaan negara,” ujar Timer di Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Kamis (12/11).
Sementara itu, Yayasan Kehati menyoroti penataan sawit rakyat di dalam kawasan hutan. Direktur Program SPOS Yayasan Kehati, Irfan Bakhtiar, mengatakan keterlanjuran kebun sawit rakyat di dalam kawasan hutan tanpa adanya perizinan harus disikapi dengan bijaksana. Irfan menekankan, soal perizinan kebun sawit rakyat seyogyanya tidak dengan pendekatan hukum pidana saja, namun harus diselesaikan secara khusus. Bila pemerintah menerapkan langkah ini, lanjut Irfan, niscaya dapat memberikan solusi yang tepat demi kebaikan bersama.
Butuh Langkah Kerja Penataan Hutan dan Penyesuaian Peraturan
Lebih lanjut Irfan menjelaskan bahwa klausul “terdaftar dalam kebijakan penataan kawasan hutan” sebagaimana terdapat dalam Pasal 17A ayat (2) dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 110B ayat (2) bahwa yang akan diselesaikan melalui penataan kawasan hutan yakni kebun yang dimiliki penduduk yang bertempat tinggal di sekitar atau di dalam kawasan hutan paling singkat 5 (lima) tahun dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar. Dengan demikian, pengaturan dalam Pasal 17 A ayat (2) dan 110B ayat (2) memberikan peluang bagi penyelesaian sawit rakyat dalam kawasan hutan dengan mekanisme non-litigasi yakni dengan kebijakan penataan kawasan hutan.
Untuk mengimplementasikan kebijakan penataan kawasan hutan, lanjut Irfan, dibutuhkan langkah kerja yang efektif dengan melibatkan pemerintah pada tingkatan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah bahkan sampai Pemerintah Desa. Pelibatan ini diharapkan dapat menyelesaikan problematika sawit rakyat dalam kawasan hutan, selain itu koordinasi dan Kerjasama yang baik dari pemerintah pusat sampai pemerintah desa diharapkan dapat memperoleh data dan peta yang benar sesuai kondisi fisik dilapangan, sehingga keputusan yang diambil dapat dilaksanakan di lapangan.
Selain itu, Irfan menjelaskan beberapa ketentuan dalam regulasi yang perlu diubah misalnya ketentuan dalam Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 serta Peraturan Menteri Agraria /Kepala BPN No. 3/1997 mengenai prasyarat penguasaan tanah untuk diberikan hak atas tanah yakni 20 tahun diubah atau disesuaikan menjadi 5 tahun. Selanjutnya, Peraturan Menteri LHK P83/MenLHK/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial Pasal 65 huruf h yakni dengan mengubah batasan pengelolaan sawit dalam kawasan hutan 12 tahun menjadi minimal 1 daur dengan penerapan Strategi Jangka Benah.
“Aturan turunan UUCK harus disusun secara terbuka, utk memastikan safeguards untuk mencegah konversi hutan alam. Berikutnya, pertimbangan keberlanjutan dan kelestarian menjadi acuan dalam menyusun aturan-aturan pelaksanaan UUCK. Investasi yang harus diamankan oleh UUCK, jangan hanya melihat investasi besar, tapi juga investasi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan. Dengan kata lain, alokasi ruang hidup dan berusaha masyarakat setempat harus diutamakan,” ujar Irfan.
Baca juga: KKP Rancang Peraturan Pemerintah Turunan UU Cipta Kerja
LSM: Cipta Kerja Putihkan Kejahatan Korporasi
Sedangkan, Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) yang menjadi salah satu tamu undangan dalam RDPU Panja tersebut tidak hadir karena menolak terlibat dan dijadikan justifikasi, baik langsung maupun tidak langsung dalam proses-proses UU Cipta Kerja.
Dalam konteks subtansi pembahasan RDPU, Nur Hidayati selaku Direktur Eksekutif Walhi menyampaikan, setidaknya ada 3 hal yang paling bermasalah, termasuk kaitannya dalam UU Cipta Kerja. Pertama, UU Cipta Kerja melakukan “pemutihan” kejahatan korporasi, dengan membiarkan keterlanjuran industri ektraktif Perkebunan dan Pertambangan dalam kawasan hutan. Alih-alih mengatur penegakan hukum, justru diberi ruang waktu untuk melengkapi administrasi hingga tiga tahun.
Kedua, pasal afirmatif perlindungan kawasan hutan justru dihapus UU Cipta Kerja, sehingga batas minimum kawasan hutan sebesar 30 persen pada satu wilayah dihapus. Ketiga, hal paling mendasar, terlebih terkait kejahatan korporasi, khususnya dalam kawasan hutan, justru pasal pertanggung jawaban mutlak pada pasal 88 di UU PPLH dikebiri, redaksinya diubah sehingga tidak lagi menjadi konsepsi pertanggungjawaban mutlak dalam penegakan hukum kejahatan korporasi dalam kejahatan lingkungan hidup.
“Secara materiil, hampir secara keseluruhan UU ini bermasalah, melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia, dipaksakan isinya tanpa memiliki landasan, dan secara terang benderang merupakan bagian dari State Capture Corruption. Bagi kami UU Cipta Kerja ini merupakan puncak pengkhianatan negara terhadap hak-hak rakyatnya,” ujar Nur Hidayati.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi