Jakarta (Greeners) – Salah satu kebutuhan dasar utama yang harus dipenuhi untuk hidup adalah pangan. Dari segi potensi ketersediaan, seharusnya Indonesia patut berbangga karena negara ini diberkahi dengan sumber daya pangan yang seakan tidak terbatas.
Namun sayangnya, saat ini, dari begitu banyaknya sumber daya pangan yang dimiliki oleh Indonesia, masyarakat masih sangat tergantung pada beras sebagai pangan utama. Padahal, menurut Murdjiati Gardjito dari Pusat Kajian Pangan Tradisional Universitas Gajah Mada (UGM), jika melihat kembali pada masa lampau sebelum pulau-pulau utama Indonesia terhubung secara baik, pangan masyarakat di beberapa kawasan di Indonesia bukanlah beras.
Seperti sumber pangan utama di Maluku dan Papua yang mengonsumsi Sagu, jagung di Nusa Tenggara Timur dan Madura, ubi jalar di sebagian kawasan Papua, dan sorgum yang menjadi pangan utama di beberapa tempat di Nusa Tenggara Timur. Kemudahan perhubungan antar pulau memicu perubahan kekhasan daerah terhadap sumber pangan non beras ke arah beras. Dari segi rasa, beras lebih mudah diterima oleh pemakan non beras.
“Di sini kita harus bisa melihat bahwa beberapa ancaman masa depan yang memengaruhi ketersediaan pangan khususnya beras di Indonesia merupakan hal yang nyata yang bisa terjadi kapanpun,” ujarnya pada keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Senin (08/06/2015).
Selain itu, lanjutnya, pertumbuhan penduduk yang besar, perubahan iklim, dan kondisi geografis yang ekosistemnya tidak selalu sesuai untuk budidaya padi akan menimbulkan kerentanan di masa yang akan datang. Sedikit saja terjadi gagal panen padi, maka ketersediaan pasokan akan terganggu dan kekurangan pangan dapat berujung pada bahaya kelaparan akan muncul di depan mata.
Menurut laporan Bappenas tahun 2013, terangnya, jumlah penduduk Indonesia akan meningkat dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035. Melihat proyeksi tersebut, maka sudah seharusnya pemerintah mulai melakukan rencana jangka panjang yang strategis untuk mendorong masyarakat menghidupkan kembali sumber pangan asli non beras yang secara alami tumbuh di wilayahnya.
Kembalinya pola makan masyarakat pada sumber pangan alami ini, ia melanjutkan, akan mendukung terjadinya ketahanan pangan sekaligus kedaulatan pangan di masa yang akan datang. Selain itu juga dapat menekan transportasi pangan untuk mengurangi emisi karbon. Kearifan lokal ini seharusnya menjadi dasar dari strategi makro ketahanan pangan Indonesia.
“Yang menjadi masalah adalah, selama ini Badan Pusat Statistik hampir tidak pernah membuat data tentang sumber pangan non beras. Data-data terkait besaran produksi atau konsumsinya sangat sulit di temukan. Karenanya upaya untuk menggali potensi dari sumber pangan non beras masih sulit berkembang,” tambahnya lagi.
Senada dengan Murdjiati , Koordinator Nasional Aliansi Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko juga mengamini bahwa ada banyak sumber pangan yang sebenarnya bisa dikonsumsi oleh masyarakat selain beras. Menurut Tejo, Indonesia memiliki lebih dari 77 sumber karbohidrat yang baik dan mampu menggantikan beras.
“Kenapa harus beras kalau sumber karbohidrat lainnya masih banyak untuk dikonsumsi?” tukasnya.
Sebagai informasi, jika ditilik dari data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 1954 silam, pola makan masyarakat Indonesia masih bisa dikatakan bervariasi. Kala itu, beras sudah menguasai separuh sumber bahan makanan pokok. Namun, ubi kayu dan jagung masih bisa bersaing.
Pergeseran pola makanan masyarakat Indonesia yang menjurus hanya pada beras mulai terjadi pada tahun 1984 yang saat itu sudah mencapai lebih dari 80 persen. Dan pada tahun 2010, sumber pangan non beras bisa dikatakan mulai menghilang. Masyarakat Indonesia sangat tergantung pada beras yang ketersediaannya terjaga karena ditunjang oleh impor beras yang semakin tinggi.
Penulis: Danny Kosasih