Mendesak Putusan MK 35 Jadi Bagian Dari Nawacita

Reading time: 2 menit
(kiri ke kanan) - koordinator Program Perkumpulan HuMa, Nurul Firmansyah; Kepala Deputi Advokasi Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati; Program Manager Lingkungan Berkelanjutan Kemitraan, Hasbi Berliani; Ketua Badan Pendukung Perkumpulan HuMa, Chalid Muhammad; dan Manager Media dan Pengetahuan Epistema Institute, Luluk Uliyah. Foto: dok. Epistema Institute

Jakarta (Greeners) – Pengelolaan wilayah adat saat ini telah banyak dikonversi menjadi wilayah pengelolaan Sumber Daya Alam berbasis industri ekstraktif yang berdampak pada penurunan kesejahteran, kerusakan ekologis, hilangnya keanekaragaman hayati, runtuhnya sendi-sendi budaya lokal, serta tingginya pelepasan emisi gas rumah kaca.

Padahal, pengelolaan wilayah yang bertumpu pada keterlibatan masyarakat adat atau komunitas lokal di daerah tentu akan memberikan dampak positif dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan juga keberlanjutan nilai ekologis di daerah tersebut.

Ketua Badan Pengurus Perkumpulan untuk Pembaharuan dalam Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Chalid Muhammad pada konferensi persnya mengatakan bahwa pengakuan hukum bagi wilayah adat dalam praktiknya harus memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melaksanakan hak-hak mereka yang diatur dalam pengakuan hukum. Hal ini merupakan mandat konstitusi UUD 1945 dan telah tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/ 2012 menyangkut hutan adat.

Seharusnya, lanjut Chalid, implementasi dari putusan ini menjadi komitmen politik pemerintah Jokowi melalui Nawacita (sembilan agenda prioritas Jokowi-Jusuf Kalla) yang menghendaki hadirnya Negara dan membangun sendi perekonomian nasional dari pinggiran. Yaitu, menjadikan desa, masyarakat adat, atau komunitas lokal sebagai aktor utama pembangunan nasional.

“Dalam kondisi seperti ini, wilayah-wilayah yang masih dikelola oleh masyarakat adat/komunitas lokal melalui praktik-praktik tradisionalnya harus dilindungi dan diselamatkan. Perlindungan dan penyelamatan wilayah-wilayah ini harus dijamin oleh hukum dengan mengalokasikan ruang kelola yang memberikan kepastian hak tenurial bagi masyarakat. Oleh karena itu, jaminan hak atas atas wilayah adat/kelola rakyat adalah pilar utama yang harus menjadi agenda prioritas Pemerintah,” jelasnya, Jakarta, Selasa (14/04).

Lebih jauh, Chalid juga menjelaskan, dalam Nawacita Presiden yang dihasilkan oleh Rumah Transisi, pemerintah berkomitmen mendistribusikan 40 juta hektar wilayah untuk dikelola rakyat. Namun, dalam RPJMN 2015-2019, targetnya turun jadi 12,7 juta hektar. Walau turun, jumlah itu berkali lipat lebih besar dari target yang pernah dicanangkan pemerintahan periode sebelumnya.

Agar target itu tercapai, Chalid pun mengusulkan agar pemerintah melakukan beberapa hal seperti pembenahan birokrasi di instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), komunikasi pemerintah pusat dan daerah. Serta regulasi terkait dan membuat roadmap tentang distribusi 12,7 juta hektar wilayah kelola rakyat.

Program Manajer Lingkungan dan Ekonomi Kemitraan, Hasbi Berliani juga menilai bahwa sampai saat ini masih belum ada peraturan operasional sejenis Undang-Undang ataupun peraturan di bawahnya guna mendukung implementasi dari putusan MK No. 35/2012.

“Soal perluasan wilayah kelola rakyat saja peraturan pendukung yang tersedia bentuknya masih sektoral seperti peraturan yang diterbitkan KemenLHK. Padahal, untuk memperkuat itu kan dibutuhkan regulasi lintas sektoral sehingga bisa mendorong pemda untuk melaksanakan kebijakan perluasan wilayah kelola rakyat tersebut,” tandasnya.

Penulis: Danny Kosasih

Top