Menanti Penguatan Hukum untuk Cegah Kerusakan di Kepulauan Aru

Reading time: 3 menit
Masyarakat Kepulauan Aru butuh hukum yang kuat untuk melindungi kekayaan alam yang kian rusak. Foto: Forest Watch Indonesia
Masyarakat Kepulauan Aru butuh hukum yang kuat untuk melindungi kekayaan alam yang kian rusak. Foto: Forest Watch Indonesia

Jakarta (Greeners) – Wilayah Kepulauan Aru, Provinsi Maluku, yang sebagian besar terkategori sebagai hutan produksi konversi, masih terancam kerusakan, terutama pada keanekaragaman hayati. Bertepatan dengan Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity yang ke-16 (COP16 CBD) di Cali, Kolombia, masyarakat adat Aru menuntut pemerintah untuk melindungi kekayaan alam mereka dengan memberikan payung hukum yang kuat.

Kepulauan Aru merupakan salah satu area kaya keanekaragaman hayati di Indonesia. Kepulauan ini memiliki 832 gugus pulau dan total luas daratan 800 ribu hektare, dikelilingi 4 juta hektare laut dan selat.

Wilayah tersebut juga memiliki 156 ribu hektare mangrove, 550 ribu hektare hutan tropis dataran rendah, 22 ribu hektare padang savana, 19 ribu hektare padang lamun, dan 53 ribu hektare terumbu karang. Bahkan, 21% potensi perikanan nasional (771.600 ton per tahun) berada di laut Aru.

Namun, keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru terus terancam. Sejak tahun 1970, setidaknya sudah ada empat gelombang izin yang terbit untuk eksploitasi hutan, perkebunan tebu, dan eksploitasi berlebih di wilayah laut.

Pemerintah juga memberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam atau IUPHHK-HA (2007-2013), peternakan sapi (2014-2021), serta Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) karbon dan hutan alam (2022-sekarang). Sejarah kelam ini mendorong masyarakat Aru untuk berjuang mempertahankan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di wilayah adat mereka.

BACA JUGA: Enam Pemuda Indonesia Suarakan Isu Biodiversitas di COP16 CBD

Mewakili masyarakat Aru, Monika Maritjie Kailey hadir di Cali untuk menyuarakan pentingnya menjaga keanekaragaman hayati di daerahnya. Ia mengatakan masyarakat adat terbukti mampu menjaga sumber daya alam dan keanekaragaman hayati melalui praktik-praktik kearifan lokal dan budaya leluhur.

“Berkali-kali kami berhasil mempertahankan hutan dan laut kami dari ancaman industri ekstraktif yang masuk,” kata Monika lewat keterangan tertulisnya, Senin (28/10).

Menurut Monika, sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat global mengakui peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati. Mereka juga perlu memastikan mobilisasi sumber daya yang adil.

Masyarakat Kepulauan Aru butuh hukum yang kuat untuk melindungi kekayaan alam yang kian rusak. Foto: Forest Watch Indonesia

Masyarakat Kepulauan Aru butuh hukum yang kuat untuk melindungi kekayaan alam yang kian rusak. Foto: Forest Watch Indonesia

Aksi Pemuda Adat di Kepulauan Aru

Seruan untuk melindungi keanekaragaman hayati di Kepulauan Aru juga datang dari pemuda-pemuda adat yang ada di Kepulauan Aru. Dalam aksi damainya, mereka menuntut komitmen serius pemerintah untuk melindungi keanekaragaman hayati di sana.

Mereka meminta pemerintah untuk mencabut izin-izin ekstraktif yang dapat membahayakan keanekaragaman hayati di daerah tersebut. Selain itu, mereka juga mendesak percepatan implementasi peraturan daerah mengenai pengakuan hak masyarakat adat.

Koordinator Aksi Damai di Kepulauan Aru, Johan Djamanmona mengatakan bahwa menjadi orang Aru bukan hanya hak, melainkan kewajiban. Sebab, menjaga Aru berarti menjaga kehidupan yang di dalamnya hidup manusia Aru.

“Jadi, aksi hari ini adalah bentuk perjuangan masyarakat adat dan pemuda Aru untuk menolak investasi yang merusak lingkungan Aru. Kemudian, mendorong pemerintah pusat untuk mencabut segala izin eksploitasi hutan di Kepulauan Aru yang sudah ada,” ucap Johan.

Menurutnya, dalam COP16 CBD, negosiasi mengenai pengakuan kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati berlangsung cukup alot. Salah satu isu utama adalah penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan komunitas. Mereka berperan penting dalam Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global atau Kunming-Montreal Global Biodiversity Framework (KM-GBF) yang disepakati dua tahun lalu.

BACA JUGA: Kolaborasi Multipihak Kunci Pelestarian Biodiversitas Indonesia

Masyarakat adat di COP16 juga mendorong negara-negara yang hadir untuk memberikan pengakuan penuh atas kontribusi mereka dalam perlindungan keanekaragaman hayati global. Mereka juga mendesak pembentukan badan permanen atau subsidiary body yang mengikat terkait pasal 8j, yang mengatur pengetahuan lokal, inovasi, dan praktik-praktik tradisional dalam perlindungan keanekaragaman hayati.

Sayangnya, beberapa negara, termasuk perwakilan delegasi Indonesia, menolak pendirian subsidiary body tersebut. Padahal, kontribusi masyarakat adat dan komunitas lokal dalam mencapai target KM-GBF sangat signifikan. Pemerintah sudah seharusnya mendukung peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan dan keanekaragaman hayati.

Perlunya Revisi Kebijakan

Sementara itu, peneliti dari Perkumpulan HuMa, Bimantara mengatakan ada dua landasan kebijakan di Indonesia untuk melindungi keanekaragaman hayati ini, yaitu Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024. Namun, kedua kebijakan tersebut belum memenuhi kebutuhan dan hak-hak masyarakat adat.

“Instruksi presiden kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga sejatinya bentuk aturan yang lebih baik adalah Peraturan Presiden,” ujarnya.

Bimantara menambahkan, ke depannya pemerintah juga perlu mempertimbangkan revisi terhadap regulasi ini. Tujuannya untuk menyesuaikan dengan struktur dan penanggungjawab terhadap kebijakan biodiversitas ini pascapemerintahan baru.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top