Jakarta (Greeners) – Mulai membiasakan diri menanam sesuai kebutuhan diri sendiri maupun keluarga diharapkan akan menjadi cara yang cukup efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat di Indonesia. Pegiat pertanian organik yang juga salah satu penggagas Pesantren Ekologi At-Thariq di Garut, Jawa Barat, Nisya Saadah Wargadipura mengatakan bahwa saat ini perspektif ketahanan pangan di Indonesia sudah harus diubah.
Menurutnya, pendekatan pasar untuk mewujudkan kedaulatan pangan cukup berbahaya karena banyak masyarakat, khususnya petani, yang tidak siap dengan persaingan pasar, apalagi di tengah kondisi perubahan iklim yang semakin ekstrem.
“Kalau sudah panik, mereka (petani) ini menjadi sembarangan, pestisidanya tidak ditakar, pupuk ureanya tidak ditakar, pokoknya hasil pertanian bisa dijual. Nah, kalau perspektifnya menanam untuk kebutuhan keluarga kan tidak mungkin seperti itu,” terangnya saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Minggu (16/10).
Untuk sistem penanaman, ia beranggapan sistem bertanam polikultur yang akan mendaulatkan pangan masyarakat. Dalam satu lahan, katanya, tidak perlu menanam satu jenis tanaman dalam jumlah banyak asalkan dilakukan secara berkelanjutan. Perspektif pemenuhan kebutuhan pangan untuk keluarga yang menggunakan sistem pertanian polikultur, lanjutnya, akan membuat masyarakat tidak terkejut dengan perubahan harga pasar.
BACA JUGA: Mendukung Sumber Pangan Non Beras untuk Ketahanan Pangan
Selain petani, masyarakat kota pun bisa memanfaatkan urban farming menggunakan sistem vertikultur. Lahan kosong, lahan terlantar maupun taman-taman juga seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai lokasi penanaman komunal berbasis komunitas.
Pegiat petani kota yang juga merupakan koordinator Bekasi Berkebun, Annisa Paramitha, berpendapat serupa. Menurut Annisa, bagi masyarakat urban yang tinggal di perkotaan, pangan tidak menjadi masalah besar karena sudah ada sebuah sistem yang mengantarkan pangan dari petani kepada masyarakat urban tersebut yang disalurkan melalui pasar ataupun supermarket.
Jika berbicara ketahanan pangan bagi masyarakat urban, lanjutnya, maka tidak lepas dari bagaimana cara pangan itu sampai ke meja keluarga, mulai dari lahan pertanian sampai siap disantap di meja makan. Berkaitan dengan jejak karbon serta polusi yang dihasilkan, pertanian di perkotaan menjadi sebuah solusi untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat kota.
“Ketika berbicara mengenai ketahanan pangan maka salah satu faktor utamanya adalah kemudahan untuk mendapatkannya. Bayangkan bila terjadi suatu bencana di kota atau di daerah lahan pertanian sehingga membuat supply stock ke kota terhenti, maka masyarakat kota akan kehilangan sumber pangan mereka. Melalui pertanian perkotaan, hal tersebut dapat diantisipasi,” tambahnya.
BACA JUGA: Jaga Keamanan Pangan, Kementan Kampanyekan Konsumsi Ayam Dingin Segar
Salah satu upaya menuju ketahanan pangan bagi masyarakat kota, menurut Annisa adalah dengan melakukan pertanian perkotaan yang tersistem dan didukung oleh pemerintah daerah. Selain itu, bijak dalam mengonsumsi makanan akan mengurangi potensi food waste atau makanan yang terbuang percuma.
“Pertanian perkotaan mampu meminimalisir risiko kekurangan kebutuhan pangan khususnya bagi keluarga, menjadikan kota lebih hijau dan memiliki sumber pangan yang terjamin,” katanya.
Sebagai informasi, Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, untuk tahun ini mengangkat tema Iklim Berubah, Pertanian Pangan Juga Harus Berubah. Tema itu didasarkan pada fakta bahwa iklim global bukan lagi akan berubah, melainkan memang telah berubah dan masih terus berubah dengan insiden iklim ekstrem yang lebih sering dan lebih parah.
Di samping itu, kelompok masyarakat miskin yang sebagian besar juga petani dan nelayan merupakan kelompok yang paling terkena dampak perubahan iklim dan menjadi korban dari semakin seringnya bencana terkait perubahan iklim terjadi, seperti banjir, longsor karena hujan deras, atau kekeringan.
Dalam menghadapi situasi itu, sistem pangan dan pertanian harus melakukan adaptasi terhadap iklim yang telah berubah sekaligus harus berkontribusi untuk tidak membuat kondisi iklim menjadi lebih buruk. Perubahan itu harus mengarahkan sistem produksi dan distribusi pangan pertanian menjadi sistem yang lebih tahan ketidakpastian iklim, lebih produktif, dan lebih berkelanjutan.
Penulis: Danny Kosasih