LONDON, 15 September 2017 – Gleyser mencakup satu persepuluh dari permukaan bumi – tapi tidak untuk waktu yang lama. Gleyser secara global mengalami kemunduran dan kehilangan massal. Mereka berkurang dan meleleh dan hal tersebut akan menciptakan masalah di mana pun, jelas penelitian terbaru.
Antara tahun 2003 dan 2009, gleyser mencair pada skala yang sangat besar, yaitu sekitar 1.350 kilometer kubik air meleleh dari areal yang dulunya merupakan bongkahan es.
Es telah mengalami kemunduran di teluk di Alaska, Artik Kanada, Greenland dan Antartika. Pada musim panas, pegunungan Alps di Eropa telah menjadi lebih hangat pada 30 tahun belakangan, hujan salju berkurang dan 54 persen tutupan es di pegunungan telah menghilang sejak tahun 1850. Pada tahun 2100, puncak Alpine mungkin telah kehilangan sembilan persepuluh dari es yang masih menutup mereka di tahun 2003. Di Amerika Selatan, gleyser di Bolivia telah kehilangan hampir 50 persen dari massa mereka sepanjang 50 tahun terakhir.
Kanada di bagian barat, antara 60 hingga 80 persen es yang diukur pada tahun 2005 akan menghilang dan mengalir ke laut meningkatkan permukaan air laut di mana pun di bumi. Dan, menurut tim para ahli internasional dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, kehilangan gunung es menciptakan masalah bagi masyarakat yang tinggal di bagian hilir.
Gleyser pada basin Sungai Gangga, Brahmaputra dan Indus, saat ini berkurang hingga 24 miliar ton metrik es per tahunnya antara 2003 dan 2009, yang ditambahkan sekitar sepersepuluh dari seluruh kehilangan es gleyser di bumi ini. Kehilangan es di hulu berarti perubahan waktu, magnitude, dan frekuensi yang mengalir ke hilir, dan pada akhirnya akan berdampak kepada level sedimen dan nutrien baik bagi manusia yang menggantungkan diri kepada pertanian di bukit dan daerah dataran rendah, dan juga bagi ekosistem alami di sungai, danau, dan pantai.
Menurut para ahli, sudah waktunya untuk pemikiran yang lebih serius: kehilangan gleyser tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas, misalnya perubahan bencana alam yaitu banjir dan kekeringan, di sektor pertanian, pariwisata, tenaga hidro, kehidupan budaya dan ekonomi politik.
“Kami tidak percaya dampak yang sangat dahsyat dari penyusutan gleyser di ekosistem hilir akan bisa sepenuhnya terintegrasi pada masa kini. Dari keanekaragaman hayati hingga pariwisata, dari tenaga hidro hingga ketersediaan air bersih, risiko yang dihadapi oleh gaya hidup kita saat ini sangatlah luas. Langkah pertama haruslah menyusun kembali cara kita melihat penyusutan gleyser, dan agenda riset yang mengakui adanya risiko bagi daerah yang terdampak,” jelas Alexander Milner, profesor ekosistem danau di University of Birmingham, Inggris, yang memimpin studi.
Empat tugas
Milner dan koleganya dari Alaska, Swiss, Norwegia, Austria, Prancis, Islandia, Denmark, Italia, dan universitas di Inggris lainnya, menginginkan komunitas sains global memikirkan tentang empat hal besar.
Mereka menginginkan teknologi baru untuk memetakan detail terkait hilangnya es dengan sangat tepat. Mereka menginginkan pemantauan global yang lebih baik untuk nutrien dan kontaminan yang kini menetes lebih deras dari gleyser ke hilir. Mereka menginginkan pemahaman yang lebih baik terkait dampak yang disebut para ilmuwan sebagai “jasa lingkungan” dari gleyser — termasuk apa yang terjadi dengan habitat salmon dan olahraga perikanan.
Mereka juga menginginkan adanya rencana kelola untuk perubahan yang terjadi di region gleyser yang lebih sensitif, dan mampu memasukkan peraturan internasional untuk melindungi yang mereka katakan sebagai “sumber air gleyser yang strategis.”
Para peneliti sudah lama memperingatkan adanya penyusutan gleyser bertahun-tahun lamanya. Mereka sudah menggarisbawahi alarm bagi region di Greenland, Asia Tengah, Antartika, dan Andes Bolivia.
Mereka menyatakan dengan tegas kaitan antara penyusutan gleyser dengan pemanasan global yang diakibatkan oleh pembakaran bahan bakar fosil dari manusia dan memperingatkan bahwa penyusutan tersebut berisiko perubahan sosial dan katastrope bagi jutaan manusia.
Air gleyser
Jadi, studi terbaru menjadi ringkasan dari penelitian yang sudah dilakukan sejauh ini dan merupakan upaya untuk mengidentifikasi apa yang ahli gleyser, ahli geografi, ahli hidrologi dan ilmu sosial harus lakukan untuk mengerti masalah ke depannya dan mengidentifikasikan langkah-langkah untuk memulihkan dampak terburuk.
Mereka melihat adanya potensi konflik terkait dengan ketersediaan air yang menipis di bagian hilir dari yang dulunya merupakan sistem gleyser yang sempurna. Dan, mereka memperingatkan, ada dimensi religius.
“Misalnya, ribuan peziarah setiap tahunnya melewati Gleyser Gangotri di India, yang dianggap sebagai tempat sakral, dan di Peru, dan Areal Yukon di Kanada, masyarakat adat menganggap gleyser sebagai dewa. Di Peru, kehilangan es dan salju dari puncak gunung diasosiasikan dengan kepergian dewa dan akhir dunia. Pada Plato Tibet, penghuni di sana menganggap Gunung Salju Yulong rumah spiritual mereka, namun sudah 65 persen bermigrasi untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan memiliki penghasilan lebih berkelanjutan,” tulisnya.
“Pergolakan sosial ini jelas akan berujung kepada implikasi atas jasa yang sudah diberikan dari gleyser bagi populasi manusia.” – Climate News Network