Jakarta (Greeners) – Pada hari terakhir negosiasi untuk menyepakati Instrumen Hukum yang Mengikat (ILBI) dalam Intergovernmental Negotiating Committee kelima (INC-5) di Busan, Korea Selatan, posisi negara-negara Asia menuai sorotan. Negara di Asia, kecuali Bangladesh dan Filipina, dinilai kurang ambisius dalam upaya mengurangi produksi plastik dan kandungan senyawa kimia berbahaya di dalamnya.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyatakan kekecewaannya atas kurangnya komitmen negara-negara Asia dalam menangani krisis plastik. Meskipun kawasan ini tercatat sebagai kontributor besar terhadap pencemaran plastik, sikap diam negara-negara Asia menunjukkan kurangnya keseriusan dalam menghadapi masalah tersebut.
“Sebagai bagian dari masyarakat negara Asia yang sering disalahkan sebagai kontributor utama pencemaran plastik, kami kecewa bagaimana posisi negara-negara Asia pada proses negosiasi ini,” ujar Co-Coordinator Nasional AZWI, Nindhita Proboretno dalam keterangan tertulisnya, Minggu (1/12).
BACA JUGA: Perjanjian Plastik Global Perlu Perkuat Solusi Guna Ulang
Menurut Nindhita, banyak negara Asia justru mendukung ekspansi produksi plastik tanpa mempertimbangkan dampak negatif yang semakin nyata di lingkungan dan kesehatan.
Pada tahun 2024, produksi plastik di Asia Tenggara diproyeksikan mencapai 30,48 juta ton. Tingkat pertumbuhan tahunan gabungan tersebut lebih dari 4% selama periode 2024-2029. Angka ini diperkirakan meningkat menjadi 38,36 juta ton pada tahun 2029.
Dengan meningkatnya produksi plastik, dampak buruknya terhadap kesehatan manusia semakin besar. Sejak 2020, lebih dari 200 penelitian mikroplastik di ASEAN mengungkapkan tingginya paparan mikroplastik dalam tubuh manusia. Paparan tersebut berkisar antara 80 hingga 490 mg per kapita per hari.
Nindhita juga menegaskan bahwa negara-negara Asia sebenarnya berpeluang besar untuk memimpin dalam menyelesaikan masalah plastik global dengan memberikan solusi berbasis kearifan lokal.
Kritik Posisi Indonesia
AZWI juga mengkritik posisi Indonesia di INC-5. Menurut mereka, Teks Chair Non-Paper yang rilis pada 29 Desember menimbulkan kekhawatiran. Sebab, banyak aspek lingkungan, kesehatan, dan finansial yang tidak kuat mengatasi plastik di seluruh siklus hidupnya.
Usulan Indonesia untuk mengganti judul Pasal 7 dari “Emissions and Releases” menjadi “Releases and Leakages” dalam Conference Room Paper (CRP), memperumit pemahaman tentang jalur pencemaran plastik dari hulu hingga hilir.
Menurut AZWI, dengan mengubah dan menambahkan kata “leakages”, intervensinya menjadi berorientasi pada pengelolaan sampah. Perubahan tersebut bukan lagi fokus pada kontrol pencemaran dari kegiatan produksi plastik di hulu sampai menjadi sampah. Selain itu, ada indikasi keterlibatan industri plastik yang mempengaruhi delegasi untuk mengaburkan tanggung jawab industri dan mengalihkannya menjadi beban publik.
BACA JUGA: Negosiator Perlu Berani Akhiri Polusi Plastik Tanpa Kompromi
“Lagi-lagi kami belum melihat posisi Indonesia yang berpihak kepada masyarakat. Karena perjanjian ini bukan hanya soal kepentingan industri atau pengelolaan sampah semata, tetapi juga tentang keberlangsungan hidup masyarakat,” ujar Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi, Abdul Ghofar.
Padahal, di Indonesia sudah banyak bukti yang menunjukkan bagaimana kelompok rentan dan masyarakat di lapangan terdampak langsung oleh pencemaran plastik.
Pembatasan Masyarakat Sipil
Sementara itu, negosiasi INC-5 juga mendapat kritik karena membatasi partisipasi masyarakat sipil. Penyelenggara membatasi akses pengamat, terutama dari negara-negara Asia, untuk pertemuan penting seperti Regional Meeting dan Contact Groups. Hal ini menimbulkan kekecewaan terkait kurangnya transparansi dan inklusivitas dalam proses negosiasi.
Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, mengevaluasi proses negosiasi di INC-5 sebagai agenda yang sangat mengecewakan. Berbeda dengan Perjanjian Lingkungan Multilateral (MEA) lainnya yang secara historis lebih inklusif dan transparan.
“Masyarakat sipil Indonesia sudah menempuh perjalanan jauh dengan keahlian dan pengalamannya masing-masing, tetapi suara kami diabaikan. Pembatasan akses dan peluang partisipasi menjadi hambatan besar untuk perjanjian ini,” ungkap Yuyun.
Namun, ia menegaskan bahwa masyarakat sipil tidak boleh mundur dan harus terus memperjuangkan kesehatan, lingkungan, serta masa depan. Menurutnya, meskipun waktu terbatas, hari terakhir INC-5 merupakan kesempatan satu-satunya untuk mendorong perjanjian yang ambisius dan bermakna.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia