Banjir Kritikan, Masyarakat Sipil Sebut AZEC Timbulkan Banyak Masalah

Reading time: 4 menit
Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut penghentian upaya perpanjangan penggunaan energi fosil dan solusi palsu dalam AZEC. Foto: Walhi
Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut penghentian upaya perpanjangan penggunaan energi fosil dan solusi palsu dalam AZEC. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut penghentian upaya perpanjangan penggunaan energi fosil dan solusi palsu dalam Asia Zero Emission Community (AZEC). Mereka menilai AZEC hanya akan menimbulkan berbagai masalah bagi demokrasi, lingkungan hidup, dan masyarakat di Indonesia.

Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), dan Koalisi Rakyat untuk Hak (KRuHA). Selain itu, juga termasuk Center of Economic and Law Studies (CELIOS) serta Oil Change International.

Pada Selasa (20/8), mereka melakukan aksi dan menyerahkan petisi kepada pemerintah Jepang melalui Kedutaan Besar Jepang di Indonesia. Mereka juga menyampaikan keprihatinan terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang di bawah Strategi GX (Green Transformation), yang akan diimplementasikan di Indonesia.

Perdana Menteri Jepang menginisiasi AZEC sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi pada COP 26 di Glasgow. Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida meluncurkan inisiatif ini secara resmi pada KTT G20 di Bali.

AZEC mengklaim sebagai bagian dari upaya menuju netralitas karbon dengan menciptakan kemitraan luas dan menganggap sebagai dekarbonisasi. Namun, kelompok masyarakat sipil di Indonesia melihatnya sebagai bentuk greenwashing.

BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil: RUU EBT Harus Fokus pada Energi Terbarukan

Masyarakat sipil menilai AZEC tidak memberikan transparansi, keterbukaan informasi, dan partisipasi bermakna dari publik. Inisiatif ini dipandang sebagai upaya memperpanjang penggunaan energi fosil, menawarkan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas. Bahkan, berpotensi menyebabkan perampasan lahan, deforestasi lebih lanjut di Indonesia, dan jebakan utang.

Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut penghentian upaya perpanjangan penggunaan energi fosil dan solusi palsu dalam AZEC. Foto: Walhi

Koalisi masyarakat sipil Indonesia menuntut penghentian upaya perpanjangan penggunaan energi fosil dan solusi palsu dalam AZEC. Foto: Walhi

Kritis terhadap Proyek AZEC

Kepala Divisi Kampanye Walhi, Fanny Tri Jambore, mengungkapkan bahwa proyek-proyek, perjanjian, dan kerja sama dalam AZEC dapat berdampak negatif pada kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, keputusan untuk melanjutkan proyek-proyek tersebut tidak pernah dikonsultasikan secara terbuka dengan masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

Contohnya adalah proyek Waste to Energy (WTE) Legok Nangka di Kabupaten Bandung, yang tidak transparan dalam pemilihan teknologi insinerator dan pemenangan konsorsium dari Jepang, Sumitomo Hitachi Zosen. Asistensi teknis dari Japan International Cooperation Agency (JICA) juga mempengaruhi keputusan pemilihan teknologi insinerator dan konsorsium tersebut.

Selain itu, proyek PLTPB Muara Laboh di Sumatera Barat menunjukkan kurangnya partisipasi bermakna dari komunitas. Sosialisasi proyek tersebut tidak melibatkan seluruh anggota komunitas yang terdampak, padahal dampaknya terasa bagi petani yang mengalami gagal panen dan warga di sekitar lokasi proyek.

BACA JUGA: Koalisi Masyarakat Sipil Desak Pemerintah Batalkan Relaksasi Ekspor Mineral

“AZEC diimplementasikan tanpa mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan tanpa menciptakan ruang bagi partisipasi yang berarti dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil,” ujar Fanny dalam keterangan tertulisnya, Selasa (20/8).

Fanny menambahkan bahwa pemerintah Indonesia dan Jepang gagal memperhitungkan dampak sosial dan lingkungan hidup dari proyek AZEC di Indonesia. Selain itu, mereka juga mengabaikan potensi pelanggaran hak asasi manusia yang mungkin timbul akibat proyek tersebut. Oleh karena itu, penerapan AZEC harus segera berhenti karena tidak memenuhi kepentingan masyarakat.

Perpanjang Energi Fosil

AlFarhat Kasman dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai bahwa berbagai proyek, perjanjian, dan kerja sama dalam AZEC di Indonesia secara terang-terangan mempromosikan pendekatan dan teknologi. Pendekatan dan teknologi tersebut, menurutnya, dapat memperpanjang penggunaan energi fosil.

“Ini tidak akan membantu dalam pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris, dan tidak efektif dalam memerangi perubahan iklim,” ungkapnya.

AlFarhat juga menyoroti rencana JICA untuk mengerjakan Rencana Induk Proyek Manajemen Transisi Energi di Indonesia. Rencana itu mencakup istilah seperti CCUS, co-firing dengan hidrogen, amonia, biomassa, dan LNG. Ini menunjukkan upaya AZEC untuk memperpanjang penggunaan energi fosil.

AZEC Solusi Palsu

Penolakan terhadap inisiatif AZEC juga mengungkapkan kekhawatiran tentang penggunaan solusi palsu yang dapat mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas. Selain itu, masyarakat sipil menilai inisiatif tersebut berpotensi menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Sigit Karyadi dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) mengkritik penggunaan solusi palsu dalam AZEC yang dapat mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas serta menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Ia menegaskan bahwa proyek-proyek besar yang mengakibatkan konflik lingkungan dan pelanggaran HAM tidak boleh dilanjutkan hanya demi ambisi dekarbonisasi.

Sigit menyebut salah satu proyek yang mendapatkan dukungan AZEC di Indonesia adalah proyek geothermal atau panas bumi. Di Indonesia, pengaturan terkait geothermal pasca Undang-Undang Cipta Kerja masih bersifat eksploitatif. Aturan tersebut berpotensi memperluas konflik agraria, dan meningkatkan ancaman kriminalisasi terhadap rakyat.

Proyek lain seperti WTE dengan insinerator yang membakar campuran sampah organik dan plastik tetap akan melepaskan emisi gas rumah kaca. Begitu juga dengan kebutuhan mineral kritis untuk baterai dan industri kendaraan listrik yang mendapat dukungan dari AZEC. Hal ini justru dapat merusak hutan hujan. Bahkan, meningkatkan emisi gas rumah kaca akibat pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas di Indonesia.

Risiko Utang

Bhima Yudhistira dari CELIOS menyoroti risiko gagal bayar utang (debt distress) akibat implementasi AZEC di Indonesia. Skema AZEC yang berbentuk pinjaman dapat memperburuk kondisi fiskal Indonesia yang sudah buruk.

“Kinerja pengelolaan utang negara yang tidak prudent menyebabkan rasio utang terhadap pendapatan negara meningkat dari 168,27% pada 2014 menjadi 315,81% pada 2024. Utang itu membengkak dari Rp 2.609 triliun pada 2014 menjadi Rp 8.850 triliun pada 2024,” jelas Bhima.

Bhima mengingatkan bahwa di tengah proyeksi melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan ancaman krisis iklim, serta rasio pajak yang masih di bawah 11% dan fenomena deindustrialisasi. Menurutnya, pemerintah harus hati-hati dalam menerima tawaran dari negara maju untuk menghindari debt distress yang merugikan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top