Jakarta (Greeners) – Perwakilan komunitas masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil mengajukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi terkait terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Pengujian ini mereka ajukan karena pembentukan yang tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, kedayagunaan, dan keterbukaan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat telah mendaftarkan permohonan ini. Di antaranya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Selain itu, perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane, juga terlibat dalam permohonan ini dengan dukungan dari Koalisi untuk Konservasi Berkeadilan.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi ikut menyoroti UU KSDAHE No. 32 Tahun 2024. Menurutnya, UU yang baru ini merupakan salah satu UU yang secara formil dibentuk tanpa partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat sebagai kelompok masyarakat yang terdampak langsung dari UU tersebut.
BACA JUGA: Menanti Kerangka Hukum yang Kuat untuk Melindungi Masyarakat Adat
“Selain itu, secara substansi UU ini menegasikan keberadaan masyarakat adat sebagai subjek dalam penyelenggaraan konservasi. Bahkan, berpotensi kuat merampas wilayah adat dan kriminalisasi masyarakat adat melalui perluasan preservasi,” ujar Rukka Sombolinggi lewat keterangan tertulisnya, Kamis (19/9).
UU Nomor 32 Tahun 2024 ini merupakan pengganti atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Pengujian formil ini pemohon lakukan karena ada persoalan dalam konteks penyusunan UU No. 32 Tahun 2024 yang tidak memenuhi beberapa aturan. Di antaranya UUD 1945, UU No. 13 Tahun 2022, dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020.
Tidak Ada Asas Keterbukaan
Sebagai pihak yang peduli dan memperhatikan proses pembentukan UU No. 32 Tahun 2024, para pemohon tidak mendapatkan akses terhadap dokumen hasil rapat atau proses pembahasan undang-undang tersebut. Pemohon juga tidak menemukan informasi yang mereka butuhkan di website DPR.
Menurut Manajer Kajian Kebijakan WALHI, Satrio Manggala, UU No. 32 Tahun 2024 secara formil tidak memenuhi sejumlah asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UUD 1945, salah satunya adalah asas keterbukaan. Ia menekankan tanpa adanya keterbukaan, partisipasi yang diharapkan tidak akan terwujud.
“Asas keterbukaan berkaitan erat dengan proses partisipasi yang bermakna,” ungkap Satrio.
DPR dan pemerintah seharusnya melibatkan masyarakat adat serta komunitas lokal. Hal itu sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2011, untuk duduk bersama dalam musyawarah dalam merumuskan ketentuan-ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2024.
Keterlibatan ini penting agar undang-undang yang disusun dapat mendukung efektivitas kegiatan konservasi. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk mencapai keadilan sosial dan ekologis, sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
BACA JUGA: Tersisa 17,7 Juta Ha, Wilayah Masyarakat Adat Butuh Pengakuan
Melalui koalisinya, para pemohon telah mengirimkan surat kepada presiden, ketua DPR, dan ketua DPD terkait penolakan pengesahan UU KSDAHE. Sayangnya, mereka tidak mendapatkan respons sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk undang-undang cenderung memandang masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai ancaman terhadap konservasi. Mereka tidak menganggapnya sebagai mitra yang sejajar.
“Pembentuk undang-undang seharusnya tidak memandang masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai ancaman dalam penyelenggaraan konservasi. Justru anggaplah mereka sebagai aktor utama dan sejajar yang dapat bekerja sama dengan pemerintah,” pungkas Rukka.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia