Jakarta (Greeners) – Sampah Bahan, Berbahaya, dan Beracun (B3) merupakan salah satu kategori sampah spesifik yang perlu penanganan khusus. Dosen Teknik Mesin Universitas Udayana, Ni Made Dwidiani mengatakan masyarakat penting untuk ikut andil dalam mengurangi dan menangani sampah B3.
“Ada beberapa hal yang dapat masyarakat lakukan, yakni konservasi energi, menggunakan lampu LED, mengemat air, dan mengurangi pemakaian baterai, ” ungkap Dwidiani lewat keterangan tertulisnya.
Menurutnya, baterai konvensional adalah salah satu sumber pencemaran timbal yang dapat berdampak buruk untuk generasi sekarang dan mendatang. Riset pun membuktikan bahwa air yang tercemar timbal, hasilnya mengejutkan.
BACA JUGA: Zero Waste Indonesia: Zero Waste Tidak Membuat Primitif, tapi Progresif
“Banyak masyarakatnya mengidap kanker, jumlah pasien kanker yang tercatat di puskesmas sangat tinggi,” tambah Dwidiani.
Kendati demikian, dampak sosial dan dampak lingkungan dari masalah ini dapat menyebabkan terganggunya kesejahteraan masyarakat lokal. Bahkan, mengakibatkan kerusakan ekosistem air, tanah, dan udara, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keseimbangan alam dan sumber daya alam.
“Menangani sampah berisiko membutuhkan peran multipihak. Bukan hanya dari masyarakat, industri dan pemerintah juga perlu ikut andil. Beberapa solusi yang bisa mengurangi dampak sosial maupun lingkungan dari pengelolaan sampah yang buruk yakni dengan sistem zero waste,” ujar Dwidiani.
Menurut Zero Waste International Alliance (ZWIA), zero waste merupakan sebuah program konservasi semua sumber daya dengan cara produksi, konsumsi, penggunaan kembali, dan pemulihan semua produk, kemasan, serta bahan yang bertanggung jawab. Artinya, praktik ini tanpa membakarnya dan tanpa pembuangan ke tanah, air, atau udara yang mengancam lingkungan atau kesehatan manusia.
Pemerintah Perlu Fasilitasi Penanganan Sampah B3
Sementara itu, Program Manager PPLH Bali Gungtik Rismayanti mengatakan masyarakat belum terbiasa menangani sampah khusus. Menurutnya, pemerintah pun perlu memberikan paparan dan memastikan penyediaan fasilitas untuk penanganan sampah B3 ini.
“Saat kami melakukan riset, bahkan seukuran Bali saja belum ada Tempat Penyimpanan Sementara Limbah B3 (TPS LB3),” jelas Gungtik.
BACA JUGA: Sudah Saatnya Pencinta Alam Terlibat Bebaskan Alam dari Sampah
Gungtik pun mewanti-wanti terkait inisiatif Indonesia memasifkan penggunaan Electric Vehicle (EV) untuk mencapai Indonesia Net Zero Emission 2045.
“Yakin nggak sih kita bisa mencapai Net Zero Emission? Dengan keadaan bahwa kita belum paham terkait pengelolaan sampah. Ditambah lagi kita fasilitas limbah B3 yang belum banyak. Kalau rusak, itu mau dibawa ke mana? Kami mencoba advokasi ke pemerintah, sebelum buru-buru untuk memasifkan produksi baterai untuk EV, perlu untuk memikirkan dampak yang muncul,” pungkasnya.
Pola “Kumpul Angkut Buang” Potret Buruk Pengelolaan Sampah
Paradigma konvensional dengan pola “kumpul-angkut-buang” adalah salah satu potret buruk dari pengelolaan sampah di Indonesia pada saat ini. Dwidiana melanjutkan, saat ini terdapat banyak jenis sampah yang berisiko dan harus dihindari serta memiliki penanganan secara khusus.
“Namun, nyatanya saat ini pola ini terus berulang tanpa adanya pemilahan dan penanganan sedekat mungkin dari sumbernya,” kata Dwidiana.
Faktanya, penanganan sampah yang berisiko dapat mencakup berbagai masalah. Seperti pengelolaan sampah bahan berbahaya dan beracun (B3), pembuangan residu, dan praktik-praktik tidak berkelanjutan dalam pemrosesan sampah.
“Misalnya, teknologi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Refuse derived fuel (RDF), serta ancaman yang lebih besar. Contohnya ledakan gas metana yang timbul dari proses menumpuknya sampah di TPA hingga perubahan iklim,” kata Dwidiana.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia