Masyarakat Harus Awasi Kebijakan Lingkungan di Era Prabowo-Gibran

Reading time: 3 menit
Masyarakat harus mengawasi kebijakan lingkungan pemerintah Prabowo-Gibran dalam memulihkan lingkungan. Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace
Masyarakat harus mengawasi kebijakan lingkungan pemerintah Prabowo-Gibran dalam memulihkan lingkungan. Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Minggu, 20 Oktober 2024. Greenpeace Indonesia mengingatkan masyarakat untuk terus mengawasi kebijakan lingkungan yang diterapkan dalam era Prabowo-Gibran untuk pemulihan lingkungan.

Greenpeace menilai bahwa persoalan lingkungan dan krisis iklim, kebohongan hijau (greenwashing), pembatasan ruang demokrasi, serta pelindungan HAM berpotensi terus terjadi di era pemerintahan Prabowo-Gibran.

Meskipun mengusung jargon ‘keberlanjutan’, Prabowo-Gibran tampaknya akan meneruskan watak pembangunan eksploitatif dengan ‘mantra’ pertumbuhan ekonomi 8 persen . Hal ini terlihat dari visi-misi mereka untuk menambah lahan food estate hingga 4 juta hektare. Mereka juga akan melanjutkan hilirisasi nikel yang merusak lingkungan dan merugikan masyarakat lokal.

“Meski tak berharap, sebagai masyarakat sipil kita perlu terus mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kita perlu terus bersuara agar mereka menghentikan watak pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan hidup, melanggar HAM, dan merugikan masyarakat,” ujar Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid lewat keterangan tertulisnya, Jumat (18/10).

BACA JUGA: FPCI Serahkan Rekomendasi Kebijakan Perubahan Iklim kepada Prabowo Subianto

Khalisah juga mencatat bahwa Prabowo telah memilih sejumlah orang dengan rekam jejak bermasalah dalam kebijakan lingkungan untuk mengisi kabinetnya. Salah satu contohnya adalah Bahlil Lahadalia, yang pernah terlibat dalam kisruh pencabutan izin pertambangan saat menjabat sebagai Menteri Investasi.

Selain itu, Prabowo menarik Zulkifli Hasan, yang saat menjabat Menteri Kehutanan melepaskan kawasan hutan untuk korporasi pada skala terluas dalam sejarah Indonesia. Baru-baru ini, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan juga menerbitkan aturan yang memuluskan ekspor pasir laut, bersama Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, yang juga sebagai kabinet Prabowo.

Bahkan, terdapat beberapa nama lain dalam bursa kandidat anggota kabinet yang diduga memiliki konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam.

Masyarakat harus mengawasi kebijakan lingkungan pemerintah Prabowo-Gibran dalam memulihkan lingkungan. Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Masyarakat harus mengawasi kebijakan lingkungan pemerintah Prabowo-Gibran dalam memulihkan lingkungan. Foto: Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Greenpeace Aksi untuk Pengawasan

Menjelang pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih, Greenpeace menyerukan pesan-pesan tentang berbagai krisis yang melanda tanah air. Mulai dari krisis lingkungan hidup, krisis keanekaragaman hayati, krisis iklim, hingga krisis demokrasi.

Lewat aksi damai kreatif berupa proyeksi video di bilangan Jakarta Pusat, Greenpeace mengajak publik untuk terus #MemilihBersuara demi penyelamatan dan pemulihan lingkungan, demokrasi, dan HAM.

Dalam aksi kreatif ini, Greenpeace menampilkan proyeksi video peta Indonesia. Video menunjukkan titik-titik lokasi terjadinya perusakan lingkungan di seluruh Indonesia. Deforestasi, perampasan hutan dan wilayah masyarakat adat, kebakaran hutan dan lahan gambut, pertambangan—mulai dari nikel, emas, batu bara, hingga pasir laut—serta pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara industri terlacak di seluruh penjuru Indonesia.

BACA JUGA: Dorong Wadah Guna Ulang dalam Program Makan Bergizi Gratis

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa saat mantan presiden Joko Widodo fokus menghias rapor capaian kinerjanya di akhir masa jabatannya, masyarakat perlu mengingat rekam jejaknya yang penuh catatan merah.

“Jokowi meninggalkan banyak warisan buruk untuk kita. Seperti pelemahan pelindungan lingkungan hidup, pelemahan demokrasi dan HAM, dan banyak Proyek Strategis Nasional yang meminggirkan masyarakat adat dan masyarakat lokal,” kata Iqbal.

Indonesia Harus Serius di Konferensi Keanekaragaman Hayati

Sementara itu, pelantikan Prabowo-Gibran berlangsung satu hari sebelum Konferensi Para Pihak ke-16 tentang Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD COP 16) di Kolombia. Khalisah menegaskan bahwa Indonesia perlu serius dan aktif terlibat dalam konferensi dua tahunan ini. Indonesia tidak boleh menunda keputusan untuk perlindungan keanekaragaman hayati dengan alasan transisi pemerintahan.

Khalisah juga mendesak pengakuan, penghormatan, dan pelindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Dua komunitas itu selama ini berperan penting menjaga keanekaragaman hayati.

“Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi menelantarkan RUU Masyarakat Adat dan menerbitkan sejumlah undang-undang yang menguntungkan oligarki. Tak banyak pilihan bagi kita selain terus bersuara melawan oligarki yang mengancam keberlanjutan Bumi,” ungkap Khalisah.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top