Masyarakat Gelar Aksi Minta Pemerintah Baru Sahkan RUU Masyarakat Adat

Reading time: 3 menit
Masyarakat meminta pemerintah baru mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Foto: AMAN
Masyarakat meminta pemerintah baru mengesahkan RUU Masyarakat Adat. Foto: AMAN

Jakarta (Greeners) – Gerakan Rakyat Kawal Masyarakat Adat (GERAK MASA) yang terdiri dari komunitas dan masyarakat adat, menggelar aksi di depan Gedung DPR RI dan Istana Negara pada Jumat, 10 Oktober 2024. Mereka menuntut pemerintahan baru untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.

Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menyatakan bahwa selama satu dekade rezim Joko Widodo (Jokowi), masyarakat adat telah ditinggalkan dengan “warisan dosa-dosa.” Ia menilai rezim ini telah mengkhianati UUD 1945, ingkar pada janji politiknya, serta gagal melindungi rakyat.

Menurut laporan AMAN 2024, perampasan tanah terjadi dengan sangat cepat selama pemerintahan Jokowi. Tercatat ada 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektare, dengan lebih dari 925 warga masyarakat adat yang dikriminalisasi, 60 orang yang mengalami represi, dan beberapa di antaranya meninggal dunia.

BACA JUGA: Tersisa 17,7 Juta Ha, Wilayah Masyarakat Adat Butuh Pengakuan

“Tak ada itikad baik yang pemerintah tunjukkan untuk kepentingan dan keberpihakan masyarakat adat. Bahkan, sebagian besar kebijakan pemerintah justru berorientasi pada perluasan dan penguatan sektor bisnis. Kekuasaan telah digunakan sedemikian rupa guna melanggengkan kepentingan oligarki,” kata Rukka lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (12/10).

Ia juga menyoroti berbagai produk hukum seperti revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja (CK), UU IKN, dan pengesahan UU KUHP, telah dirancang untuk menyangkal keberadaan lebih dari 40 juta masyarakat adat beserta hak-hak konstitusional mereka.

Dengan menolak pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat, menurut Rukka, Presiden Jokowi sengaja membiarkan masyarakat adat hidup tanpa jaminan hukum untuk pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak konstitusional mereka.

“Janji politik enam Nawacita Jokowi terkait masyarakat adat bahkan tidak diingat sama sekali,” tegasnya.

Krisis Hukum dan Sosial di Era Jokowi

Rukka menambahkan bahwa hingga saat ini, negara terus mengedepankan skenario hukum yang merampas dan menindas masyarakat adat. Ini tercermin dalam kebijakan pengakuan hukum terhadap masyarakat dan wilayah adat yang rumit, berbelit, dan sektoral.

Banyak kasus menunjukkan upaya untuk memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari masyarakat adat itu sendiri, serta mengecualikan wilayah-wilayah yang sedang berkonflik dari target pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa Jokowi dan kabinetnya tidak memiliki kemauan politik yang tulus untuk mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak konstitusional masyarakat adat.

“Satu dekade pemerintahan Jokowi adalah wujud dari absolutisme kekuasaan, yang ditandai dengan menguatnya kekuasaan eksekutif, melemahnya fungsi legislatif, dan hilangnya oposisi. Kita sedang menghadapi fakta politik di mana kekuasaan berlangsung tanpa adanya interupsi,” kata Rukka.

Dampaknya, pemerintah mengabaikan atau bahkan menolak segala hal yang bertentangan dengan kepentingannya melalui berbagai modus politik. Akibatnya, satu dekade pemerintahan Joko Widodo telah memicu krisis multidimensi, termasuk krisis politik, sosial, ekologi, agraria, hingga krisis hukum.

Desak Prabowo-Gibran Sahkan RUU Masyarakat Adat

Selain itu, AMAN telah mencatat beberapa kejahatan rezim pemerintahan Jokowi terhadap masyarakat adat sepanjang tahun 2014 hingga 2024. Salah satunya adalah perampasan wilayah adat untuk pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).

AMAN menilai, pembangunan IKN berdasarkan pada keinginan pribadi Jokowi dan segelintir pengusaha. Hal ini telah merenggut hak partisipasi penuh dan efektif masyarakat adat yang terdampak langsung. Pemerintah juga menetapkan lokasi IKN pada Agustus 2019 tanpa persetujuan pemilik wilayah adat. Bahkan, terdapat banyak konflik agraria di lapangan yang tidak pernah pemerintah selesaikan.

BACA JUGA: Hari Masyarakat Adat Sedunia: Pandemi Tegaskan Resiliensi Masyarakat Adat

Selain itu, terdapat penyesatan dalam pengakuan wilayah adat melalui perhutanan sosial. Tujuan perhutanan sosial adalah memberikan akses kepada masyarakat dalam pengelolaan hutan. Namun, prinsip perhutanan sosial tidak setara dengan pengakuan penuh atas wilayah adat. Padahal, hutan adat adalah hak milik masyarakat adat dalam wilayah adat sesuai Putusan MK 35 Tahun 2012.

Berdasarkan pandangan ini, GERAK MASA mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam 100 hari pertama pemerintahannya. RUU ini akan menjadi landasan hukum yang kuat untuk mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat. Selain itu, RUU ini juga akan memberikan kepastian hukum atas wilayah adat yang selama ini pemerintah abaikan.

GERAK MASA menuntut percepatan pengakuan hak atas wilayah adat. Mereka meminta penyelesaian konflik agraria yang tersandera di meja kabinet Jokowi.

Selain itu, mereka juga meminta penghentian seluruh perampasan tanah untuk pembangunan proyek strategis nasional. Tuntutan ini mencakup penghentian perampasan tanah demi kepentingan bisnis pengusaha. GERAK MASA juga meminta pemerintah untuk menghentikan kebijakan pro-pemodal asing di atas wilayah adat.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top