Masyarakat Adat Kalimantan Perjuangkan Wilayahnya di COP16

Reading time: 3 menit
Masyarakat adat Kalimantan memperjuangkan wilayahnya di COP16. Foto: Contentro
Masyarakat adat Kalimantan memperjuangkan wilayahnya di COP16. Foto: Contentro

Jakarta (Greeners) – Minimnya pengakuan terhadap masyarakat adat Kalimantan memicu semangat masyarakat di sana terus memperjuangkan hak tanah adat mereka. Suara perjuangan ini juga turut mereka sampaikan pada konferensi keanekaragaman hayati tingkat dunia, Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity yang ke-16 (COP16 CBD) di Cali, Kolombia, untuk meminta keadilan bagi alam dan tanah adat yang telah mereka lindungi selama berabad-abad.

Data dari PADI Indonesia dan Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) menunjukkan bahwa pengakuan masyarakat adat di Kalimantan Utara baru terdapat di tiga kabupaten, yakni Malinau, Nunukan, dan Bulungan. Direktur Eksekutif PADI Indonesia, Among, menyampaikan hingga saat ini hanya ada 19 komunitas adat yang mendapatkan pengakuan di ketiga kabupaten tersebut.

Among menjelaskan, pengakuan formal bagi masyarakat adat sangat penting. Ia juga menekankan perlunya dukungan dari masyarakat dunia terhadap peran dan kontribusi masyarakat adat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.

“Masyarakat adat adalah kelompok yang paling terdepan dalam menjaga keanekaragaman hayati dan mencegah perubahan iklim. Mereka bukan penyebab kehilangan keanekaragaman hayati, melainkan garda terdepan dalam melindungi biodiversitas dan akan terdampak langsung oleh kehilangan tersebut,” ucap Among lewat keterangan tertulisnya, Rabu (30/10).

BACA JUGA: BRIN dan APHA Lakukan Kajian terkait RUU Masyarakat Adat

Menurut Among, masyarakat adat di Kalimantan bukan satu-satunya yang berusaha mendapatkan pengakuan atas status dan ruang hidup mereka. Proses negosiasi dalam COP16 CBD juga mencakup penghormatan dan pengakuan hak masyarakat adat serta komunitas lokal yang telah terbukti berkontribusi pada perlindungan keanekaragaman hayati. Namun, pencapaian target Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM GBF) dalam proses ini masih berjalan cukup alot.

“Penghormatan terhadap hak dan pengakuan terhadap ruang hidup masyarakat adat serta komunitas lokal merupakan prasyarat utama bagi mereka. Hal ini penting agar masyarakat adat dapat melangsungkan praktik pengelolaan ekosistem berkelanjutan yang terbukti berhasil melindungi keanekaragaman hayati,” ujar Among.

Masyarakat adat Kalimantan memperjuangkan wilayahnya di COP16. Foto: Contentro

Masyarakat adat Kalimantan memperjuangkan wilayahnya di COP16. Foto: Contentro

Masyarakat Adat Berperan Penting

Sebagai pulau terbesar ketiga di dunia, Pulau Kalimantan memiliki lebih dari 15.000 jenis tanaman. Kemudian, terdapat 288 jenis mamalia, 350 jenis burung, serta 150 jenis reptil dan amfibi. Keanekaragaman hayati ini menjadikan Kalimantan sebagai daerah penting bagi pertemuan berbagai kebudayaan.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati juga tidak bisa lepas dari peran serta masyarakat adat dan lokal yang menjadi bagian integral dari ekosistem di wilayah mereka. Praktik pemantauan keanekaragaman hayati (biodiversity monitoring) sejatinya sudah dilakukan oleh masyarakat adat di sana.

Kepala Desa Batu Lintang dan Ketua Gerempong Menuajudan, Raymundus Remang, menjelaskan berbagai kelompok masyarakat adat secara turun-temurun melindungi keanekaragaman hayati di wilayahnya.

BACA JUGA: Masyarakat Gelar Aksi Minta Pemerintah Baru Sahkan RUU Masyarakat Adat

“Seluruh masyarakat adat di Indonesia harus terus menjaga dan mengelola hutan beserta isinya. Sebab, lebih baik menjaga mata air daripada meneteskan air mata,” tuturnya.

Di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, terdapat masyarakat adat Dayak Punan Tugung. Masyarakat di sana berkomitmen untuk menjaga keanekaragaman hayati di wilayah adat mereka, meskipun seluruh wilayah tersebut berada dalam izin konsesi perusahaan.

Rahmat Sulaiman dari JKPP menyatakan bahwa kondisi wilayah adat Dayak Punan Tugung cukup memprihatinkan. Sebab, keseluruhan wilayah adat berada dalam konsesi PT. Intracawood yang bergerak dalam Hak Pengelolaan Hutan (HPH).

Namun, perbedaan pengelolaan hutan oleh korporasi dan masyarakat adat sangat mencolok. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat adat Dayak Punan Tugung mampu melindungi keperawanan hutan adat mereka.

“Dengan demikian, peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati sangat penting. Pengakuan serta dukungan terhadap mereka menjadi krusial untuk keberlangsungan ekosistem yang ada,” ungkap Rahmat

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top