Jakarta (Greeners) – Masyarakat Adat Tano Batak Kawasan Danau Toba yang berasal dari Kab. Simalungun, Kab. Toba Samosir, Kab. Tapanuli Utara, dan Kab. Tapanuli Selatan gelar aksi bersama di halaman depan Gedung Manggala Wanabhakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melepaskan wilayah adat dari klaim hutan negara dan konsesi PT. Tba Pulp Lestari (TPL).
Masyarakat Adat Batak yang sudah lebih dulu ada jauh sebelum NKRI terbentuk, sudah tinggal dan mengelola wilayah adat di Kawasan Danau Toba. Menggantungkan hidup dari wilayah adat seperti hutan kemenyan hingga saat ini. Namun, hutan Kemenyan kini rusak, diduga akibat aktivitas salah satu perusahaan swasta yakni PT.TPL.
Roganda Simanjuntak, Ketua Badan Pengurus Harian AMAN Tano Batak mengatakan, sejak wilayah adat terbaik milik Masyarakat Adat beralih fungsi, makam leluhur dan lahan pertanian diratakan oleh perusahaan. Hutan Kemenyan dihancurkan oleh pemegang izin untuk diganti dengan tanaman eucalyptus sebagai bahan baku pulp milik PT TPL.
BACA JUGA : Menteri LHK Janji Selesaikan RUU Hukum Adat
Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 yang menegaskan kembali bahwa Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan lagi sebagai hutan negara.
“Menurut Putusan MK tersebut sudah jelas bahwa hutan adat bukan hutan negara. Jadi kami masyarakat adat merupakan pemilik wilayah adat, dan kami mendesak Ibu Siti Nurbaya untuk mengeluarkan atau mencabut izin konsesi PT.TPL dan mengeluarkan tanah negara yang diklaim sebesar 90% dari wilayah adat kami,” ujar Roganda seusai aksi di Manggala Wanabhakti, Jakarta, Senin (12/08/2019).
Dalam proses konflik ini, tidak sedikit warga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, setidaknya ada 50 warga adat. Karena aktifitas bertani dituduh menduduki hutan negara atau merusak tanaman milik perusahaan.
Seperti pada Juli lalu, lima orang Masyarakat Adat Huta Tor Nauli, di Kec. Parmonangan, Kab. Tapanuli Utara, mendapat surat panggilan dari Polres Tapanuli Utara akibat pengaduan pihak PT TPL. Mereka dituduh menduduki kawasan hutan negara.
Roganda melanjutkan, Masyarakat Adat di Tano Batak juga mengapresiasi program Presiden Joko widodo terkait pengembangan destinasi pariwisata Danau Toba. Dengan tujuan meningkatkan kunjungan wisatawan dan meningkatkan kesejahteraan warga. Akan tetapi, jika perusahaan-perusahaan perusak kawasan Danau Toba masih ada, bisa dipastikan program pariwisata tersebut akan gagal.
BACA JUGA : Dampak Sosial Pemindahan Ibu Kota Terhadap Masyarakat Adat
“Jika perairan danau toba sendiri saja semakin rusak karena PT ini, bagaimana dikembangkan menjadi kawasan pariwisata prioritas? Pasti akan gagal, jadi harus diperbaiki dulu kerusakan-kerusakan ini,” tegas Roganda.
Sementara itu, contoh kerusakan kawasan Danau Toba ini juga disampaikan oleh Rinto Ambarita yang berasal dari Desa Sihaporas. Ia mengatakan jika hutan seluas 3.000 ha di sekitar Desa Sihaporas mengalami kegundulan dan gersang akibat peralihan lahan yang dilakukan PT. APL dan mengakibatkan kekeringan air terjadi.
“Saat ini juga air yang ada di sekitar kami sudah beracun akibat peracunan pestisida yang digunakan oleh APL. Sedangkan, mata air kami dekat dengan itu, ikan-ikan pada mati baru-baru ini. Jadi Pak Jokowi dan jajaran kementerian untuk memberantas PT.APL ini,” ujar Rinto.
Penulis: Dewi Purningsih