Jakarta (Greeners) – Analisis Dirty 30 oleh Toxic Bond Initiative menempatkan Adaro Energy Indonesia sebagai salah satu penerbit obligasi terkotor sedunia. Koalisi organisasi masyarakat sipil menyerukan bahwa Adaro pantas mendapatkan penganugerahan tersebut. Sebab, Adaro memiliki banyak jejak kerusakan lingkungan dan menyisakan konflik masyarakat.
Jajaran perusahaan bahan bakar fosil raksasa lainnya, seperti Exxon dan Shell juga masuk dalam daftar penerbit obligasi terkotor sedunia. Adaro memiliki obligasi sebesar US$750 juta yang akan jatuh tempo di bulan Oktober tahun ini.
Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, terlalu banyak cerita tentang kerusakan yang sudah Adaro sebabkan.
“Seperti penggusuran seluruh masyarakat Desa Wonorejo di Kalimantan Selatan dan di Batang, Jawa Tengah. Kemudian, mata pencaharian nelayan yang terancam hilang akibat rencana ekspansi Adaro di Kalimantan Utara,” ucap Bondan lewat keterangan tertulisnya, Rabu (8/5).
BACA JUGA: Indonesia Masih Akan Terjebak Emisi Karbon hingga 40 Tahun ke Depan
Penelitian oleh Carbon Major Database menunjukkan bahwa Adaro menjadi salah satu perusahaan yang bertanggung jawab atas 80% emisi karbon sejak Perjanjian Paris, di antara tahun 2016-2022.
“Sudah tidak bisa dimungkiri, Adaro berdosa dalam mendorong dan memperparah krisis iklim,” tambah Bondan.
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Enter Nusantara, Greenpeace Indonesia, dan Market Forces pun telah melakukan aksi teatrikal penyerahan penghargaan “Obligasi Kotor” (Toxic Bond) ke Adaro.
Adaro Belum Buktikan Komitmen
Meskipun Adaro sudah mengeluarkan pernyataan net zero di tahun 2060, rencana tersebut tidak membatasi batu bara termal maupun metalurgi. Berdasarkan skenario International Energy Agency untuk meminimalisasi dampak malapetaka krisis iklim, dunia harus berhenti membangun PLTU batu bara baru dan ekspansi tambang batu bara di tahun 2023. Dunia harus segera mengimplementasikan net zero di tahun 2050.
“Faktanya, Adaro malah mengakselerasi pembangunan PLTU batu bara baru yang kotor dan ekspansi bisnis metalurgi batu bara. Lalu, mengabaikan kekhawatiran ilmuwan iklim, bahkan investor mereka sendiri,” ungkap Juru Kampanye Energi dan Keuangan dari Market Forces, Nabilla Gunawan.
BACA JUGA: Pencemaran Batu Bara, Warga Marunda Keluhkan ISPA dan Gatal Kulit
Sejak tahun 2022, Adaro telah ditinggalkan perbankan multinasional seperti Standard Chartered dan DBS karena banyak perbankan mengadopsi kebijakan coal exit. Belum lama ini, Hyundai juga telah memutuskan perjanjian pembelian aluminium dengan anak usaha Adaro. Smelter aluminium tersebut akan diproduksi oleh PLTU batu-bara sebesar 1.1 GW di Kalimantan Utara.
“Dunia telah meninggalkan batu bara. Namun, Adaro tetap keras kepala dan masih tidak memiliki rencana transisi kredibel yang sejalan skenario net zero 2050, skenario yang bertujuan untuk mencegah malapetaka masa depan karena krisis iklim,” tambah Nabilla.
Kerentanan Sektor Batu Bara Mencuat Tajam
Menurut proyeksi kerentanan (“vulnerability score”) iklim oleh Fitch setelah tahun 2025, kerentanan sektor batu bara termal dan metalurgi akan mencuat dengan tajam. Di tahun 2050, satu atau lebih faktor terkait iklim dapat mengancam eksistensi bisnis batu bara termal dan metalurgi.
“Batu bara merupakan sektor yang saat ini cukup rentan dan akan bertambah rentan. Hyundai dan investor Adaro paham akan hal itu. Sedangkan Adaro keras kepala dan menolak untuk paham,” ujar Koordinator Aksi Energi Terbarukan Enter Nusantara, Ramadhan
Ramadhan menambahkan bahwa koalisi masyarakat sipil di bidang energi bersih telah mengirim surat bersama resmi ke sekretaris korporat sejak bulan Februari. Namun, hingga saat ini Adaro masih belum memberikan tanggapan apa pun.
“Adaro memilih untuk mengabaikan kekhawatiran dan nasib masa depan orang muda demi keuntungan belaka. Adaro mengkhianati kita semua dengan mewarisi lingkungan Indonesia yang telah hancur di masa depan nanti,” ujar Ramadhan.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia