Jakarta (Greeners) – Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) belum sepenuhnya dijalankan dan pengingkaran kebijakan terkait perlindungan hutan alam ternyata masih ditemukan di lapangan. Hasil penelusuran yang dilakukan oleh Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK), Forest Watch Indonesia, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) wilayah Maluku Utara menemukan masih terjadi ketidakpatuhan perusahaan pemegang ijin terhadap pelaksanaan SVLK, khususnya di provinsi Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara.
“Pemberian sanksi tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan SVLK seharusnya mutlak diterapkan pemerintah, baik perusahaan yang bergerak di hulu maupun di tingkatan hilir”, ujar Muhamad Kosar, Dinamisator JPIK dalam keteranga tertulisnya, Jakarta, Selasa (22/12).
Menurut Muhammad Kosar, sampai saat ini, masih terjadi konflik antara masyarakat dan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. Toba Pulp Lestari (PT TPL) di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penebangan dan perampasan hutan kemenyan milik masyarakat adat oleh PT TPL menjadi penyebab konflik dan menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat. Temuan lain dari hasil pemantauan lapangan, bahwa PT TPL juga melakukan penebangan di sempadan sungai dan area lindung di dalam konsesinya.
Pelanggaran terhadap aturan SVLK juga dilakukan oleh perusahaan HTI PT Adindo Hutani Lestari (PT AHL), yang berada di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di dalam konsesi PT AHL ditemukan penebangan dan pembukaan lahan yang merupakan wilayah gambut dalam. Perusahaan ini juga diindikasikan telah melakukan penyerobotan lahan masyarakat akibat ketidakjelasan tata batas dan tidak melalui FPIC (free prior and informed consent).
“Pembukaan lahan pada wilayah gambut dalam dan praktik penebangan pada areal yang dilindung jelas melanggar aturan SVLK,” tambahnya.
Mufti Barri, Juru Kampanye FWI, menyatakan, indikasi pelanggaran juga ditemukan dalam rantai peredaran dan pasokan kayu ke tingkatan hilir, yaitu industri kayu primer. Salah satu perusahaan yang diidentifikasi adalah PT Panca Usaha Palopo Plywood yang berada di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Perusahaan industri kayu terbesar di Sulawesi ini diduga kuat menerima pasokan kayu dari sumber yang tidak memiliki legalitas.
Sumber kayu tersebut berasal dari perusahaan HPH PT. Mohtra Agung Persada di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Data realisasi Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) sampai dengan bulan November 2015 memperlihatkan bahwa PT Panca Usaha Palopo Plywood masih menerima kayu dari PT Mohtra Agung Persada sebanyak 10.155,11 meter kubik.
“Ini tentu saja menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terkait peredaran kayu bulat yang diterapkan pemerintah. Seharusnya dokumen RPBBI yang dimiliki KLHK mampu menjaga bahwa hanya kayu-kayu dari sumber legal yang wajib dikonsumsi oleh industri,” katanya.
Penulis: Danny Kosasih