Jakarta (Greeners) – Tingginya tingkat pencemaran limbah domestik ke sungai membuat ketersediaan sumber air baku menurun. Apalagi, tingginya tingkat pencemaran tersebut membuat peralatan pemurnian air konvensional sulit bekerja dan akhirnya malah membutuhkan lebih banyak bahan kimia dalam prosesnya.
Menjawab permasalahan ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merekomendasikan penggunaan teknologi biofiltrasi dan ultrafiltrasi untuk meningkatkan kualitas air baku yang tercemar limbah domestik agar mampu menjadi air siap minum.
Direktur Pusat Teknologi Lingkungan BPPT Rudi Nugroho menyatakan bahwa hingga akhir tahun 2015, akses air minum di perkotaan baru bisa diakses sebesar 72 persen dan 65 persen untuk wilayah pedesaan. Sedangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, seluruh masyarakat perkotaan dan pedesaan harus sudah memiliki akses 100 persen sumber air minum aman dan fasilitas sanitasi layak.
Melihat kondisi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang kekurangan air baku yang aman, masyarakat pesisir yang sulit mendapatkan air bersih pun, menurut Rudi, memerlukan terobosan untuk menciptakan ketersediaan air baku yang layak tersebut.
“Teknologi biofiltrasi ini sangat ampuh digunakan untuk menghilangkan polutan, dengan mengandalkan kerja mikroorganisme yang akan menguraikan polutan dari limbah-limbah rumah tangga. Tahap selanjutnya air diproses dengan filter konvensional sebelum dilanjutkan dengan teknologi ultrafiltrasi,” katanya kepada Greeners, Jakarta, Jumat (18/03).
Teknologi tersebut, lanjutnya, menggunakan membran yang lubangnya sebesar satu per seratus mikron sehingga, secara teori, bakteri 0,5 mikron dapat ditahan. Sebelumnya, teknologi ultrafiltrasi sudah pernah diterapkan untuk banjir di kawasan Pluit pada tahun 2013.
“Hasil uji coba teknologi ini pada PDAM Taman Kota sangat baik, terbukti dengan bisa beroperasinya kembali dan menambah pasokan air baku DKI Jakarta dengan kapasitas 100 liter per detik,” katanya.
Sebagai informasi, hingga saat ini pengadaan air bersih di Indonesia, khususnya untuk skala besar, masih terpusat di daerah perkotaan dan dikelola oleh Perusahaan Air Minum (PAM) kota yang bersangkutan. Namun hingga saat ini, secara nasional, jumlahnya masih belum mencukupi dan dapat dikatakan relatif kecil yakni 19 persen.
Untuk daerah yang belum mendapatkan pelayanan air bersih dari PAM umumnya menggunakan air tanah (sumur), air sungai, air hujan, air sumber (mata air). Dari hasil survei penduduk antar sensus 1995, persentase banyaknya rumah tangga dan sumber air minum yang digunakan di berbagai daerah di Indonesia sangat bervariasi, tergantung dari kondisi geografisnya.
Penulis: Danny Kosasih