Jakarta (Greeners) – Perubahan Iklim mengancam keberadaan satwa liar. Hal ini berdampak buruk terhadap distribusi, penyebaran, perilaku dan daya hidup satwa liar di habitatnya. Oleh karenanya perlu pemanfaatan teknologi untuk melakukan restorasi habitat satwa di alam.
Ini menjadi pengingat dan dorongan dalam peringatan #GlobalTigerDay pada 29 Juli lalu dan Konservasi Alam Nasional (HKAN) pada 10 Agustus mendatang. Selain itu juga perayaan hari gajah dan orang utan sedunia pada 12 dan 19 Agustus mendatang.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB Hadi Sukadi Alikodra mengatakan, posisi Indonesia yang berada dalam paparan Sunda, Malaysia dan Sahul membuat negeri ini berpotensi memiliki keanekaragaman satwa melimpah dari Sabang hingga Merauke.
Akan tetapi, seiring dengan perubahan iklim dan kenaikan suhu panas bumi berdampak serius pada satwa liar.
“Saya sangat khawatir dengan keberlanjutan satwa liar. Jangan perubahan iklim ini menyebabkan collapse,” katanya dalam webinar Restorasi Ekosistem Satwa Liar, Kamis (4/7).
Hadi menyebut, saat ini dampak perubahan iklim terhadap satwa liar sudah dapat kita lihat, baik dari segi pakan maupun habitatnya. Misalnya, banyaknya badak dan orang utan yang kekurangan pangan.
Rendahnya kerapatan pohon membuat bekantan yang biasa hidup eksisting meloncat terpaksa harus turun terlebih dulu ke tanah sebelum meloncat naik lagi.
Jangan Lagi Business as Usual
Selain itu kekeringan akibat perubahan iklim juga memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hadi mengungkapkan, tantangan utama restorasi akibat kebakaran hutan di antaranya berkurangnya sumber-sumber air, kematian pohon hingga berkurangnya sumber pakan satwa liar.
Agar tak memperparah perubahan iklim, ia menekankan agar tak lagi menerapkan business as usual. Selain itu, ia juga menyorot percepatan restorasi berbasis teknologi yang sesuai untuk ekosistem satwa liar.
“Diperlukan percepatan restorasi habitat dengan spesies lokal yang tahan kekeringan dan tahan api, serta teknik konservasi tanah dan air dengan teknologi pengaturan aliran air, dam dan embung,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Belantara Foundation Dolly Priatna menyatakan, berbagai satwa liar dalam kondisi sangat terancam punah, perlu restorasi habitat mereka. Saat ini harimau sumatra, gajah sumatra dan orang utan statusnya kritis atau sangat terancam punah (critically endangered) menurut IUCN.
“Merestorasi habitat mereka merupakan salah satu langkah tepat dan mendesak untuk dilakukan secara bersama guna membantu menekan laju kepunahan keanekaragaman hayati,” ungkapnya.
Tantangan Restorasi Ekosistem Habitat Satwa
Pendiri Rangkong Indonesia Yokyok ‘Yoki’ Hadiprakarsa menyebut, ada berbagai tantangan untuk pengelolaan ekosistem, di antaranya luas daratan yang mencapai 1,9 juta kilometer, luas perairan yaitu 3,2 juta kilometer dan penutupan lahan hutan mencapai 95,2 juta kilometer.
“Indonesia penutup hutannya sangat luas demikian pula keanekaragaman hayati yang sangat tinggi sekitar 12.000 jenis,” katanya.
Selain itu, di Indonesia masih sangat minim akan sumber daya manusia yang terjun dalam konservasi. “Sementara faktanya saat ini justru marak perburuan liar,” imbuhnya.
Tantangan lainnya yaitu terkait dengan pendanaan riset yang masih terbatas. Indonesia, sambung Yongki merupakan negara dengan anggaran riset nomor empat tingkat Asia. “Mengingat perbandingan luas rasio per kilometer Indonesia, anggaran penelitian saat ini masih sangat kecil,” ungkapnya.
PBB melalui UN Decade Ecosystem Restoration 2021-2030 telah menyerukan upaya perlindungan dan pelestarian ekosistem di seluruh dunia. Seruan ini bertujuan untuk menghentikan laju degradasi ekosistem dan memulihkannya untuk mencapai tujuan global.
Menurut UN Decade Ecosystem Restoration 2021-2030, upaya restorasi seluas 350 juta hektare (ha) ekosistem darat dan perairan yang terdegradasi berpotensi dapat menghasilkan US$ 9 triliun dalam bentuk jasa ekosistem.
Selain itu, restorasi ekosistem juga dapat menghilangkan 13 hingga 26 gigaton gas rumah kaca dari atmosfer. Di Indonesia, restorasi ekosistem berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 52,92 juta ton karbon ekuivalen, yang meliputi restorasi ekosistem lahan kering, gambut dan mangrove.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin