Jakarta (Greeners) – Mahkamah Agung (MA) resmi menolak permohonan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus ujaran kebencian yang menjerat aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Keputusan ini memberikan angin segar bagi Daniel yang pada akhirnya bebas dari tuduhan tersebut.
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengapresiasi putusan majelis hakim pimpinan hakim Dwiarso Budi Santiarto ini. SAFEnet menilai, putusan ini dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus kriminalisasi lain yang menjerat aktivis lingkungan hidup, khususnya yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kami mengapresiasi putusan hakim Dwiarso Budi Santiarto dan anggota majelis hakim lainnya yang telah memutus perkara ini dengan seadil-adilnya. Putusan MA ini harus menjadi yurisprudensi bagi hakim-hakim lain yang sedang mengadili kasus kriminalisasi aktivis lingkungan hidup,” ujar Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin lewat keterangan tertulisnya, Rabu (30/10).
Kasus Daniel Tangkilisan telah menarik perhatian baik di tingkat nasional maupun internasional. Lebih dari 8.700 orang telah menandatangani petisi di change.org yang menuntut pembebasannya. Kemudian, 31 organisasi masyarakat sipil internasional telah mengeluarkan pernyataan sikap bersama mendukungnya.
Laporan terhadap Daniel bermula dari komentarnya mengenai tambak udang ilegal di Karimunjawa yang mencemari daerah pesisir. Bahkan, merusak lingkungan laut Taman Nasional Karimunjawa. Kritikan tersebut ia sampaikan melalui akun media sosial Facebook pada 12 November 2022. Kemudian, dilaporkan ke Polres Jepara pada 8 Februari 2023.
Landasan Kuat bagi Masyarakat Sipil
Sementara itu, Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden Sekar Arum menilai putusan ini dapat menjadi landasan kuat bagi masyarakat sipil untuk mendorong pemerintah dan parlemen agar membuat peraturan anti-SLAPP yang lebih kuat dan komprehensif.
“Putusan MA ini menunjukkan ketentuan anti-SLAPP dapat menyelamatkan orang-orang yang dikriminalisasi. Kita perlu mendorong ketentuan anti-SLAPP yang lebih komprehensif. Hal itu dapat melindungi siapa pun yang berekspresi untuk mempertahankan hak-haknya di hadapan kerakusan korporasi dan abainya negara,” ujar Nenden.
BACA JUGA: RUU KSDAHE Berpotensi Kriminalisasi Masyarakat Adat
SAFEnet menekankan, meskipun mungkin memerlukan waktu yang tidak sebentar, regulasi anti-SLAPP yang lebih kuat dan komprehensif tetap perlu untuk melindungi kebebasan berekspresi dan partisipasi publik.
“Tentu ini bukan perjuangan yang sebentar. Namun, kita tidak akan pernah memiliki ketentuan anti-SLAPP yang komprehensif jika kita tidak memulainya dari sekarang. Apalagi, kebebasan berekspresi yang kita perjuangkan akan segera berhadapan dengan dua peraturan predatorik, yaitu UU ITE dan KUHP baru yang akan efektif di tahun 2026,” ujarnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia