Jakarta (Greeners) – Usulan penyederhanaan izin lingkungan saat ini ramai diperbincangkan dan mendapat perhatian serius dari banyak pihak. Beberapa pihak yang mendukung usulan ini berpendapat penyederhanaan izin diperlukan untuk menciptakan kemudahan berinvestasi. Sementara pihak yang menolak menyatakan penyederhanaan izin lingkungan berpotensi mengurangi bobot pertimbangan lingkungan bagi kegiatan pemanfaatan sumber daya alam.
Menyikapi polemik ini, kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Sumber Daya Alam secara terpisah menyampaikan pendapat kritis atas wacana penyederhanaan izin lingkungan.
Henri Subagiyo selaku Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengusulkan agar penyederhanaan perizinan lingkungan sebaiknya dimaknai untuk melebur izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH) ke dalam izin lingkungan sesuai dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Rumitnya proses mendapatkan izin lingkungan disebabkan karena PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menambahkan nomenklatur izin baru, yaitu izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH). Padahal, izin PPLH tidak dikenal dalam UU No. 32/2009. Jadi pangkal masalahnya ada di izin PPLH, sehingga izin PPLH lah yang harus dicabut oleh Pemerintah,” jelas Henri melalui keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Senin (03/07).
Henri menyatakan bahwa penyederhanaan izin tidak bisa dilakukan tanpa didahului evaluasi terhadap pelaksanaan prosedur perizinan yang berjalan selama ini serta efektivitas mekanisme pengawasan terhadap izin-izin tersebut.
Oleh karena itu, terangnya, penyederhanaan izin lingkungan tidak boleh dilakukan secara gegabah melainkan harus juga mampu meningkatkan efektifitas pengawasan bagi penaatan lingkungan, baik oleh aparat maupun masyarakat terdampak, tambahnya.
Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga menyampaikan dalam catatan advokasi lingkungan Walhi bahwa kasus-kasus lingkungan terjadi karena pelaku usaha dan pemerintah menyepelekan proses dan ketaatan dokumen Amdal atau UKL/UPL.
Selama ini, lanjutnya, fungsi kontrol dalam dokumen analisis dampak lingkungan (Amdal) dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL/UPL) tidak pernah ada karena banyak persoalan yang menghantui proses pembuatannya dokumen lingkungan Amdal dan UKL/UPL dianggap sebagai proses administrasi sehingga fungsi pengawasan publiknya hilang.
“Banyak kasus Amdal dan UKL/UPL bodong, dibuat dengan data yang tidak benar, mendapat penolakan masyarakat tetapi nyatanya Amdal atau UKL/UPL tetap berlaku. Selain itu, upaya penegakan dari pemerintah juga masih sangat lemah,” jelas Abet.
Prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, lanjut Abet, seharusnya didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.
“Jika BKPM dan Kementrian PU mengerdilan aspek lingkungan, maka ini wujud nyata intervensi buruk ke kementrian LHK. BKPM dan Kementrian PU tidak memahami postur kebijakan lingkungan yang tercantum dalam UU PPLH sebagai instrumen yang mewajibkan negara untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup. Karena konstitusi kita sudah jelas mengamanatkan bahwa hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih adalah bagian dari Hak Asasi Manusia,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih