Jakarta (Greeners) – Meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbarui dan timbulnya masalah lingkungan seperti polusi udara dan pemanasan global mendorong Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan energi alternatif bioetanol dari limbah kelapa sawit. Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI Agus Haryono menjelaskan bahwa pengembangan penelitian bioetanol ini sudah dilakukan sejak tahun 2008 dan proses pilot plan telah berjalan pada tahun 2010 hingga 2012.
“Bioetanol ini merupakan alternatif untuk bahan bakar yang selama ini sangat bergantung sekali dengan bahan bakar fosil. Suatu saat kalo bahan bakar fosil sudah mahal, Indonesia sudah memiliki cadangannya. Selain itu bioetanol ini bisa mengurangi emisi CO2 lebih dari 90 persen,” ujar Agus Haryono pada acara Kunjungan ASEAN Terkait Bioetanol Generasi ke-2 di Jakarta, Kamis (01/03).
BACA JUGA: LIPI Kembangkan Super Mikroba sebagai Penghasil Bioetanol
Bioetanol dengan bahan limbah kelapa sawit merupakan generasi ke-2 (G2) yang dikembangkan dari generasi pertama yang memakai bahan baku pangan, seperti singkong dan nira tebu. Namun karena bahan baku pangan ini sulit didapat, penelitian beralih menggunakan limbah kelapa sawit.
“Generasi kedua ini kami buat karena adanya perbaikan dari generasi pertama. Karena ketersediaan bahan pangan yang tinggi dari generasi pertama yang menggunakan singkong dan tebu, kami mencari bahan baku apa yang bisa digunakan untuk bahan bakar tapi yang sudah tidak terpakai. Akhirnya, dipilihlah tandan kosong sawit (TKS) dengan kandungan etanol selulosa 30-40 persen yang bisa dijadikan etanol (bahan bakar) berkapasitas 160 liter per ton TKS,” ujar Agus.
Bioetanol dari limbah kelapa sawit ini memiliki konsentrasi 99,5% yang siap digunakan untuk bahan bakar pengganti bensin. Agus bahkan mengklaim bahwa pilot plant Bioetanol G2 merupakan satu-satunya yang ada di Indonesia dan menjadi bench-mark untuk proses produksi bioetanol berbasis lignoselulosa.
“Biomassa lignoselulosa di Indonesia sangat melimpah, hal ini membuka kesempatan terwujudnya bahan bakar terbarukan dan ramah lingkungan, dan diharapkan terjalin kolaborasi antar negara ASEAN dalam penelitian dan pengembangan biofuel,” katanya.
BACA JUGA: Penerapan BBM Euro 4 Harus Dijalankan Tepat Waktu
Sayangnya bioetanol berbahan dasar limbah kelapa sawit ini seharga Rp25.000 per liter, lebih mahal dibandingkan dengan bahan bakar fosil. Hal ini membuat bioetanol dari limbah kelapa sawit ini belum banyak diproduksi.
“Meskipun dari penelitian-penelitian sebelumnya harga sudah turun tapi belum maksimal, belum bisa menyaingi bahan bakar fosil. Waktu pertama kita membuat (bioethanol G2) harganya Rp200.000 per liter, kita terus melakukan efisiensi dan sekarang Rp25.000 per liter. Kalau enzimnya sudah tidak impor harga bisa turun lagi,” ungkap Agus.
Agus juga mengharapkan peran pemerintah untuk membantu memasarkan bioetanol ini. Dengan demikian, selain LIPI bisa mengefisienkan produksinya, Agus berharap pemerintah memberikan kemudahan harga jual yang lebih mahal karena bioetanol G2 tidak hanya bersaing dengan bahan bakar fosil tapi dengan bahan bakar nabati seperti bioetanol.
Penulis: Dewi Purningsih