Awal Tahun 2021, Bumi Pertiwi kembali mengalami pelbagai bencana alam yang banyak merenggut korban jiwa. Mulai dari tanah longsor di Sumedang, Jawa Barat hingga peristiwa gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,2 di Kabupaten Majene dan Mamuju, Sulawesi Barat. Kondisi ini mengingatkan kembali ancaman bencana serupa yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja.
Jakarta (Greeners) – Kepala Pusat Penelitian Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Eko Yulianto, menyebut pentingnya edukasi publik agar lebih siaga menghadapi bencana. Menurutnya, secara geografis Indonesia rawan bencana. Namun, semua pihak kerap lupa untuk siaga bencana akibat perulangan yang tidak terjadi dalam waktu dekat.
“Seluruh wilayah Indonesia dipenuhi retakan-retakan akibat tektonik yang notabene menjadi sumber gempa. Di sisi lain, perulangan gempa relatif lama, misalnya 50 tahun atau bahkan lebih, sehingga orang mudah melupakannya. Itulah pentingnya edukasi terus-menerus mengenai mitigasi bencana,” ujar Eko dalam keterangan tertulis yang diterima Greeners, Selasa, (19/1/2021).
Peneliti Soroti Kerawanan Bangunan Menghadapi Gempa
Sebagai informasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 136 bencana alam terjadi di Indonesia sepanjang 1-16 Januari 2021. Dua di antaranya merupakan gempa bumi yang merenggut banyak korban jiwa serta kerugian yang tidak sedikit.
Terkait hal tersebut, Eko menyoroti aspek bangunan yang kurang memperhatikan keamanan atau tahan gempa. Menurutnya, pembangunan sebuah rumah kerap kali hanya memperhatikan aspek estetikanya saja. Namun, faktor kebencanaan seperti ketahanan akan guncangan kerap luput dari perhatian.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat sebanyak 136 bencana alam terjadi di Indonesia sepanjang 1-16 Januari 2021. Foto: Shutterstock.
“Sementara membangun ulang rumah atau memperkuat bangunan yang sudah ada bisa membutuhkan biaya mahal. Harusnya, masyarakat memiliki satu ruang aman sebagai tempat berlindung tatkala gempa terjadi,” tegasnya.
Eko menambahkan, bencana bukan semata–mata aspek teknis, tapi juga perilaku dan sikap manusia. Acap kali terjadi pelanggaran aturan seperti mendirikan bangunan di bibir pantai melewati batas sempadan.
“Sinergi dan implementasi kebijakan yang sistemik sangat krusial dan tidak hanya berlangsung secara sporadis,” jelasnya.
Masyarakat Harus Mewaspadai Bencana Hidrometeorologi
Sementara itu, Peneliti Pusat Penelitian Limnologi LIPI, Iwan Ridwansyah, memperikirakan Indonesia akan mengalami puncak musim hujan pada Januari dan Februari. Menurutnya, masyarakat perlu menambah kewaspadaan terhadap bencana hidrometeorologi.
Adapun berdasarkan catatan BNPB, hingga 16 Januari 2020, bencana banjir paling banyak terjadi, mencapai 95 kejadian. Iwan memaparkan bencana banjir di Kalimantan Selatan telah mengakibatkan 27.111 rumah terendam dan 112.709 warga mengungsi di 7 kabupaten/kota.
“Untuk mengurangi dampak bencana di masa depan, perencanaan tata ruang kabupaten/kota yang berada pada potensi bencana tinggi harus didesain ulang berdasarkan analisis ilmiah berbasis kebencanaan,” ucapnya.
Penulis: Muhammad Ma’rup
Editor: Ixora Devi