Jakarta (Greeners) – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia melalui Pusat Penelitian Oseanografi (P2O) menyatakan bahwa penelitian dan pemantauan terumbu karang di 1.067 site di seluruh Indonesia menunjukkan bahwa terumbu karang dalam kategori jelek sebanyak 386 site (36,18%), kategori cukup sebanyak 366 site (34,3%), kategori baik sebanyak 245 site (22,96%) dan kategori sangat baik sebanyak 70 site (6,56%). Secara umum, terumbu karang kategori jelek mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Peneliti Ahli Terumbu Karang P2O LIPI Suharsono mengatakan bahwa hampir 30-40 persen rusaknya terumbu karang diakibatkan oleh faktor alam, seperti perubahan iklim yang mengakibatkan pemutihan karang (coral bleaching) dan penyakit. Selain itu faktor antropogenik atau faktor yang berasal dari aktivitas manusia juga berkontribusi pada penurunan kondisi terumbu karang, seperti sedimentasi, pencemaran, eutrofikasi hingga pengeboman dan pengambilan karang yang berlebihan.
“Pada faktor antropogenik bom menjadi penyebab utama rusaknya terumbu karang, kalau pada faktor alam coral bleaching menjadi faktor penyebab utamanya karena menyebabkan terumbu karang pada kondisi akut. Walaupun (terumbu karang) akan pulih dengan berjalannya waktu tapi perlu waktu yang lama. Kalau biota lautnya tidak bisa bertahan lama akibat coral bleaching tersebut, ya akan mati,” ujar Suharsono kepada Greeners saat ditemui pada Diskusi Publik tentang Potensi Stok Terumbu Karang Indonesia, di Jakarta, Rabu (28/11/2018) lalu.
BACA JUGA: KKP Dorong Perluasan Wilayah Konservasi Terumbu Karang
Suharsono mengatakan fenomena pemutihan terumbu karang terakhir di Indonesia terjadi pada tahun 2015 dan 2016. Tidak semua wilayah Indonesia terkena pemutihan karang yang parah, meski demikian hanya beberapa lokasi yang tutupan karangnya relatif stabil. Lokasi-lokasi tersebut di antaranya Pangkep dan Spermonde di Sulawesi Selatan, Ternate di Maluku Utara dan Biak di Papua.
LIPI pernah mencatat bahwa kejadian pemutihan karang hebat pernah terjadi di Indonesia pada tahun 1983 pada bulan Mei hingga Juli dengan kematian karang hingga 90% di Laut Cina Selatan, Selat Sunda, Laut Jawa, Bali dan Lombok. Lalu, pada tahun 1997-1998 pada bulan November hingga Februari terjadi kematian karang hingga 80% di Sumatera Barat, Laut Cina Selatan, Jawa, Bali dan Lombok. Kemudian tahun 2010 pada bulan April sampai Juni kematian karang sebesar 30% terjadi di wilayah Sumatera Utara dan Barat, Bali, Lombok, Wakatobi.
“Diduga lokasi-lokasi tersebut adalah tempat di mana aliran massa air mengalir secara kontinu sehingga dapat mengurangi dampak dari peningkatan suhu permukaan air laut. Kemungkinan kedua adalah lokasi tersebut mengalami pemutihan ringan kemudian karang mampu pulih kembali,” kata Suharsono. Ia menambahkan, kemungkinan ketiga adalah daerah-daerah tersebut memang tidak mengalami kenaikan suhu permukaan air laut.
BACA JUGA: 90 Persen Terumbu Karang Dunia Diprediksi Akan Punah pada 2050
Menurut Suharsono, hal yang dapat dilakukan pada saat terjadi pemutihan karang adalah meminimalisir stressor (penyebab stress) yang ada di lokasi tersebut seperti mengurangi aktivitas manusia karena karang sedang dalam kondisi sangat rentan rusak.
Terumbu karang merupakan kekayaan laut yang menyimpan potensi untuk dikembangkan. Apabila dikelola dan dimanfaatkan secara baik akan memberikan manfaat ekonomi yang pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Tidak ada yang bisa mencegah kejadian faktor alam, tapi target atau keinginan kita semua untuk meningkatkan jumlah terumbu karang dalam kondisi sangat baik. Kurangi atau tidak melakukan sama sekali antopogenik dengan tidak menggunakan alat tangkap menggunakan bom dan sianida,” kata Suharsono.
Penulis: Dewi Purningsih