Jakarta (Greeners) – Hingga saat ini masih ada masyarakat yang kesulitan untuk mendapatkan air bersih di beberapa wilayah Indonesia. Oleh karena itu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyarankan penerapan konsep ekohidrologi untuk ketersediaan air bersih yang berkelanjutan di Indonesia.
Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Yogaswara mengatakan, wilayah perdesaan diperkirakan membutuhkan air sekitar 60 liter per hari, di perkotaan dibutuhkan rata-rata 110 liter air per hari, sementara di wilayah metropolitan kebutuhan air mencapai 150 liter per hari.
“Perbedaan kebutuhan air di wilayah perdesaan dan perkotaan ini mencerminkan gaya hidup yang terkait dengan air,” kata Herry dalam diskusi bertajuk Pola Hidup Bersih: Aplikasi Ekohidrologi untuk Ketersediaan Air Bersih yang Berkelanjutan di Indonesia di Media Center LIPI Pusat Jakarta, Jumat (25/05/2018).
BACA JUGA: LIPI Dorong Petani Gunakan Pupuk Organik Hayati
Untuk memenuhi kebutuhan air layak konsumsi, pemerintah telah melakukan berbagai upaya di berbagai sektor. Namun dengan jumlah penduduk sebesar 257 juta jiwa dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,49 per tahun serta kondisi geografis yang beragam dan tingkat kemudahan aksesibilitas yang berbeda-beda, maka persoalan ketersediaan tidak hanya menyangkut bagaimana pemerintah menyediakannya.
“Perlu dilihat berbagai inisiatif masyarakat dalam menyediakan air, termasuk bagaimana partisipasi masyarakat perlu direspons oleh pemerintah,” katanya.
Dalam acara yang sama, Peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI Ignasius Dwi Atmana Sutapa menekankan konsep ekohidrologi sebagai solusi. Ekohidrologi merupakan pendekatan dalam pengelolaan sumber daya air terpadu yang menawarkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam memahami lingkungan dan sistem sumber daya air melalui pemahaman interdepensi proses dan komponen siklus hidrologi di ekosistem darat dan perairan.
“Pendekatan ekohidrologi mampu meningkatkan kualitas sumber daya air dengan mempertimbangkan unsur ekologi, hidrologi, ekoteknologi dan budaya,” ujar Ignasius.
BACA JUGA: Polemik Swastanisasi Air di Jakarta, Publik Diminta Pegang Kendali Pengelolaan
Lebih lanjut Ignasius mengatakan bahwa LIPI sudah membuat demo site ekohidrologi di Saguling, Bandung Barat sebagai tempat praktik dan konstruksi untuk memperkenalkan konsep hidrologi multifungsi yang pertama. Gunanya sebagai pembelajaran dan edukasi supaya manfaat dari ekohidrologi ini bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Konsep yang kita bangun di sana, di samping untuk memantau dan memperbaiki kualitas air, kita sediakan kolam-kolam percontohan yang bisa digunakan untuk ternak ikan, jadi kita kombinasikan. Tidak hanya mengelola sumber daya air tapi juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara ekonomi. Kita mencoba di setiap tempat melibatkan masyarakat untuk mulai peduli terhadap lingkungan dan menunjukkan bahwa ekohidrologi ini bermanfaat untuk masyarakat,” kata Ignasius.
Rachmat Fajar Lubis, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI menerangkan, dalam upaya pengelolaan sumber daya air terpadu, konsep ekohidrologi meliputi informasi dasar ekologi-potensi sumber daya air, aplikasi teknologi yang tepat guna serta ramah lingkungan lokal dan berbasis partisipasi masyarakat. Aplikasi terbaru dari konsep ekohidrologi ini adalah untuk mengurangi dampak musim kemarau yang diprediksi akan mencapai puncaknya pada bulan Agustus-September tahun ini.
“Aplikasi konsep dan teknologi ini telah dilakukan pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti di Pulau Kalimantan, Pulau Bangka, Mojokerto Jawa Timur, dan Grokgak di Bali dengan hasil pengurangan dampak kekeringan yang nyata,” katanya.
Penulis: Dewi Purningsih