LIPI: Belum Ada Teknologi yang Mampu Secara Akurat Mendeteksi Gempa

Reading time: 2 menit
gempa
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Dalam periode tiga bulan Indonesia mengalami beberapa gempa besar. Pada 29 Juli 2018, gempa berkekuatan 6,4 Skala Richter (SR) mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Timur. Kemudian gempa dengan magnitudo 7,4 mengguncang Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah dan menyebabkan tsunami. Akibatnya, banyak korban meninggal dunia dan kerusakan bangunan dan infrastruktur yang ditaksir triliunan rupiah. Pertanyaannya, adakah sistem atau teknologi untuk mendeteksi gempa?

Menjawab pertanyaan tersebut, Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Eko Yulianto mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada teknologi di dunia yang mampu secara akurat memprediksi datangnya bencana, terutama gempa bumi.

“Jika ada pendapat yang menyatakan mampu memprediksi kapan terjadi gempa bumi beserta kekuatan magnitudonya, bisa dipastikan itu adalah hoax (bohong-Red.),” kata Eko pada konferensi pers di Media Center LIPI, Jakarta, Selasa (02/10/2018).

BACA JUGA: Building Code dan Peta Mikrozonasi Cegah Kerugian Besar Akibat Gempa 

Eko menjelaskan, tidak ada alat dan teknologi yang bisa mengetahui secara persis hari gempa akan terjadi, namun jika menggunakan kerangka waktu geologi, gempa tersebut dapat diprediksi.

“Di Aceh setidaknya sejak 2.400 tahun yang lalu sudah terjadi 4 kali gempa dan itu berulang setiap 500-700 tahun. Jadi, setiap 500-700 tahun akan terjadi gempa tapi kita enggak tahu tepatnya kapan. Kalau sudah seperti itu langkah yang baik adalah dengan mitigasi panjang,” kata Eko.

Lebih lanjut Eko mengatakan bahwa gempa berbeda dengan tsunami yang memiliki jarak waktu yang diketahui 20 menit sampai 1 jam di daerah Selatan Jawa atau Pantai Barat Sumatera. Namun untuk daerah-daerah dimana jarak antara sumber gempa dengan daratan terlalu dekat, evakuasi hanya memiliki waktu 5 menit.

Buoy Tsunami

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Nugroho mengatakan bahwa Indonesia memiliki alat pendeteksi dini tsunami, yakni Buoy Tsunami. Namun sejak tahun 2012, alat deteksi tersebut rusak parah karena tidak adanya biaya pemeliharaan.

“Di laut kita ada Bouy Tsunami yang dapat mendeteksi gelombang di tengah laut dan pendeteksian dini tsunami di daerah dan wilayah Indonesia. Tapi saat ini alat tersebut tidak beroperasi karena rusak dan tidak berfungsi. Alat itu dikoordinir oleh BPPT,” ujar Sutopo.

BACA JUGA: Gempa dan Tsunami Dera Palu dan Donggala 

Saat dikonfirmasi, Deputi Kepala Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza membenarkan pernyataan tersebut. Ia menyatakan bahwa BPPT hanya diberikan tugas untuk memasang Buoy Tsunami tersebut mulai tahun 2008 setelah pasca gempa Aceh dan hanya beroperasi sampai tahun 2012.

“Mestinya karena alat dioperasikan untuk deteksi dini (early warning), seharusnya Buoy Tsunami tersebut diambil alih pengoperasiannya oleh BMKG, tapi pada saat itu BMKG belum siap untuk mengoperasikannya. Lambat laun alat ini membutuhkan perawatan, tetapi karena tidak adanya dana alat tersebut tidak lagi beroperasi di tahun 2012 karena rusak atau dicuri,” jelas Hammam saat dihubungi oleh Greeners.

Hammam mengatakan, alat Buoy Tsunami ini hanya ada 22 unit yang didonasikan dari luar negeri dan tersebar di Sumatera bagian Barat, Samudera Hindia, dan Selatan Jawa. Sementara di Sulawesi tidak ada alat deteksi Buoy Tsunami.

“Jadi jangan mengatakan Buoy Tsunami yang ada di Sulawesi tidak terdeteksi karena Buoy Tsunami-nya rusak atau tidak berfungsi karena memang tidak ada alat Buoy di Sulawesi,” jelas Hammam.

Penulis: Dewi Purningsih

Top