Jakarta (Greeners) – Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati Dunia yang diperingati setiap tanggal 22 Mei, pada tahun ini mengangkat tema “Our Biodiversity, Our Food, Our Health”. Atas tema ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia perlu dilindungi, termasuk dari potensi penyebaran penyakit oleh satwa liar atau dikenal dengan zoonosis. LIPI bekerjasama dengan kementerian terkait akan membuat peta hotspot infeksi zoonosis di Indonesia untuk memudahkan pengawasan atas penyakit ini.
Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cahyo Rahmadi menjelaskan fauna liar yang secara alami dapat menyeberang lintas negara maupun dibawa dan dimanfaatkan oleh manusia untuk tujuan tertentu perlu menjadi fokus penelitian. Terlebih dengan ditemukannya kasus cacar monyet atau monkeypox di Singapura. Penyakit cacar monyet sendiri secara global umumnya ditemukan di wilayah Afrika Tengah dan Barat.
“Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa dari binatang yang tertular virus. Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang,” kata Cahyo dalam diskusi media “Peran LIPI dalam Perlindungan Keanekaragaman Hayati Indonesia”, Jakarta, Selasa (21/05/2019).
BACA JUGA: KLHK: Keanekaragaman Hayati Penting untuk Sumber Pangan
Cahyo mengatakan bahwa kegiatan memasukkan jenis-jenis satwa dari luar Indonesia untuk kepentingan apapun harus selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian karena berpotensi membawa penyakit yang disebabkan mikroorganisme. Mikroorganisme ini dapat menyebar ke jenis-jenis satwa lokal Indonesia. Akibatnya, spesies tersebut dapat menularkan penyakitnya ke manusia.
“Dari laporan Han et al tahun 2016 menyampaikan kelompok-kelompok fauna yang dominan membawa penyakit ialah tikus, seperti tikus got karena dari spesies mereka salah satunya sebenarnya tidak asli Indonesia. (Spesies tikus tersebut) terbawa saat transportasi kapal umum dan sekarang sangat banyak ditemukan di beberapa daerah di Indonesia dan menjadi salah satu yang sering membawa penyakit seperti monkeypox. Selain itu kelelawar, celurut, serta dari kelompok karnivor ada anjing dan primata yang merupakan kelompok dominan yang menularkan penyakit,” ujar Cahyo.
Terkait Hari Keanekaragaman Hayati Dunia, Cahyo mengatakan bahwa permasalahan penyakit dan spesies dampaknya dapat mempengaruhi ketahanan nasional. “Itulah kenapa kehati termasuk satwa liar, mikroba, dan mikroorganisme yang berpotensi menjadi penyakit perlu diperhatikan,” katanya.
Cahyo mengatakan bahwa dalam lima tahun ke depan LIPI bekerjasama dengan kementerian terkait akan melakukan karakterisasi mikroba zoonosis dari prevalensi, distribusi, endemisitas dan etiologi untuk menyediakan data dan peta hotspot infeksi zoonosis di Indonesia.
“Beberapa kelompok yang akan kami kaji dari kelompok reptil, amfibi dan beberapa jenis hewan eksotis. Studi yang dilakukan oleh beberapa komunitas yang memantau pertumbuhan dan perdagangan satwa liar menemukan bakteri yang memang sebelumnya tidak diperhatikan sangat leluasa keluar masuk di wilayah indonesia,” ujar Cahyo.
BACA JUGA: Pembalakan Liar dan Perdagangan Satwa Ilegal Pintu Masuk Penularan Zoonosis
Kekayaan mikroorganisme di Indonesia juga menjadi potensi tersendiri. Kepala Bidang Mikrobiologi Pusat Penelitian Biologi LIPI Atit Kanti mengatakan bahwa Indonesia mempunyai keanekaragaman mikroorganisme yang tinggi, namun hanya sekitar 10 persen saja data yang melaporkan keberadaan mikroorganisme yang berhasil diisolasi dari Indonesia.
Menurut Atit, mikroorganisme mempunyai peran yang sangat penting dalam perkembangan bioindustri bidang pangan, kesehatan, pertanian dan lingkungan. Mengingat pentingnya peran mikroorganisme, UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten menjadikan mikroorganisme menjadi satu-satunya makhluk hidup yang bisa dipatenkan.
“Saat ini Indonesia telah memiliki sarana depositori untuk penyimpanan mikroorganisme, yaitu Indonesia Culture Collection (InaCC) yang dikelola oleh LIPI. InaCC memiliki fasilitas tem¬pat isolasi, karakterisasi, penyimpanan, dan dokumentasi koleksi mikroorganisme dengan cara penanganan yang benar. Saat ini di InaCC telah tersimpan koleksi mikroorganisme dari berbagai pihak, antara lain dari lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah, perusahaan swasta, perguruan tinggi dan juga dari luar negeri,” pungkas Atit.
Penulis: Dewi Purningsih