Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berencana menghapus limbah penyulingan minyak kelapa sawit dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun. Keputusan tersebut didasarkan pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Tata Cara Uji Karakteristik dan Penetapan Status Limbah B3.
“Isi permen (peraturan menteri) tersebut bisa digunakan untuk mengeluarkan kategori jenis limbah B3 menjadi limbah biasa sesuai dengan syarat ketentuan,” ucap Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Rosa Vivien Ratnawati, saat webinar Best Practice Pengelolaan Limbah B3 Spent Bleaching Earth, Selasa (23/06/2020).
Menurut Vivien, SBE merupakan salah satu limbah B3 yang dapat dikecualikan dengan beberapa kemudahan. Semua perusahaan yang terdaftar memiliki limbah tersebut, kata dia, dapat mengajukan permintaan ke KLHK untuk mendapatkan izin pengecualian. “Pengawasannya akan diperketat. Kalau limbahnya tidak diperlakukan dengan baik Surat Keputusan pengecualian dicabut dan limbah SBE kembali diperlakukan sebagai limbah B3,” ucapnya.
Baca juga: Pergeseran Nilai Adat Dinilai Pengaruhi Populasi Burung Rangkong
Spent Bleaching Earth (SBE) merupakan salah satu jenis limbah padat dari hasil penyulingan minyak kelapa sawit yang berasal dari industri pengolahan minyak hewani atau nabati. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), SBE dikategorikan sebagai limbah B3 kategori bahaya dua.
Ia mengatakan terdapat sejumlah keluhan yang meminta SBE dikeluarkan dari kategori limbah B3. Menurut penelitian, Vivien menyebut SBE masih mengandung kadar minyak tinggi sehingga bisa digunakan kembali menjadi suatu produk. “Limbah SBE jangan dianggap sesuatu yang menyusahkan karena dengan teknologi pengelolaannya bisa lebih baik,” katanya.
Menurut Vivien, pengelolaan limbah SB3 tetap akan menggunakan prosedur sesuai ilmu pengetahuan dan peraturan perundang-undangan. “Kalau limbah SBE ini sudah dikecualikan dari limbah B3 akan dikelola sebagai non limbah B3,” ujarnya.
Ia menuturkan dalam waktu dekat KLHK akan mengeluarkan peraturan menteri tentang pengelolaan limbah non B3 yang akan memuat sejumlah standar dari pengecualian tersebut.
Selama tiga tahun terakhir, Ditjen PSLB3 mencatat limbah SB3 terus meningkat. Tahun 2017 jumlahnya mencapai 184.162 ton, pada 2018 berkisar 637.476 ton, dan tahun lalu bertambah menjadi 778.894 ton.
Limbah SBE dinilai dapat dimanfaatkan kembali menjadi sebuah produk yang dicampurkan oleh beberapa bahan lain. Misalnya produksi biodiesel, pengganti agregat halus pada campuran beton, bahan baku briket, bahan baku bata merah, zat penyerap atau adsorben (RBE), dan pembuatan katalis.
Diperlukan Kajian Mendalam
Profesor Dr. Udin Hasanudin, Guru Besar Bidang Pengelolaan Limbah Agroindustri Universitas Lampung, menyampaikan bahwa diperlukan kajian mendalam apabila SBE akan digunakan kembali sebagai suatu produk. Adanya tambahan bahan lain, kata dia, pasti akan memerlukan penanganan lebih lanjut.
Baca juga: Menjaga Benteng Terakhir Hutan Indonesia
Menurutnya, selain limbah minyak, SBE juga tersusun dari beberapa komposisi kimia salah satunya berupa debu silika. Dengan persentase 60 hingga 80 persen, debu tersebut berpotensi menyebabkan penyakit silikosis apabila terlalu sering dihirup karena terbawa angin. “Kalau kering ditimbun begitu saja debunya ke mana-mana bisa memengaruhi kesehatan masyarakat,” ucapnya.
Pemerintah, kata dia, masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk mengelola limbah SBE. Menurutya diperlukan upaya untuk meminimalisir timbunan limbah dan mengolahnya menjadi bahan baku. “Kita mendorong perusahaan melakukan sendiri atau mendorong pihak ketiga. Jadi yang disimpan di TPS seminimal mungkin,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani