Jakarta (Greeners) – Meski sudah hampir dua pekan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengaku masih perlu waktu menelusuri penyebab pasti kematian banyak ikan sapu-sapu di Kalibaru, Kramat Jati, Jakarta Timur. Kuat dugaan banyak ikan sapu-sapu mati karena limbah domestik.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta Asep Kuswanto menyatakan, akan menelusuri lebih lanjut sumber penyebab kematian massal ikan sapu-sapu pada 11 Juli lalu. Dugaan kuat berasal dari kejadian tak biasa pembuangan limbah domestik.
“Terdapat kemungkinan adanya kejadian tidak biasa. Yakni berupa pembuangan limbah dengan debit sangat besar atau konsentrasi limbah sangat tinggi,” katanya dalam keterangannya, Jumat (29/7).
Menurutnya, limbah tersebut hanya terjadi pada skala lokal di salah satu ruas Sungai Kalibaru Timur. Lalu tersebar langsung ke dalam ruas sungai dan menyebabkan perubahan drastis kualitas air sehingga menjadi penyebab kematian massal ikan.
Berdasarkan kajian DLH DKI Jakarta bersama dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (PPLH IPB), terjadi peningkatan nilai cukup tajam pada hari kejadian untuk beberapa parameter kualitas air. Peningkatan nilai parameter lebih tinggi dibanding data kisaran hasil pemantauan rutin maupun baku mutu.
“Di antaranya BOD yang pada saat kejadian bernilai 68 mg/L (baku mutu 3 mg/L), COD 309 mg/L (baku mutu 25 mg/L) dan Fecal Coliform 1.400.000 MPN/100ml (baku mutu 1.000 MPN/100ml),” paparnya.
DLH Rutin Pantau Kualitas Air Sungai
DLH, kata Asep setiap tahun secara rutin melakukan pemantauan kualitas air sungai pada empat periode. Tepatnya saat musim hujan, kemarau dan peralihan antarmusim di 120 titik pemantauan di seluruh Jakarta.
Pernyataan Asep tersebut sekaligus mengkonfirmasi bahwa penyebab matinya banyak ikan sapu-sapu di Kalibaru tersebut bukan karena sampah jeroan pasca Iduladha.
“Apabila penyebab kematian diduga akibat pembuangan limbah kurban, maka hal ini dapat saja terjadi pada banyak ruas sungai yang ada di DKI Jakarta,” tandasnya.
Ia menegaskan, DLH Jakarta akan melakukan penelusuran lebih lanjut dengan melakukan inventarisasi sumber pencemaran domestik. Seperti berasal dari pemukiman, perkantoran, industri skala kecil-menengah, industri skala besar dan aktivitas lainnya di ruas sungai tersebut.
Dia juga mengimbau kepada masyarakat sekitar bantaran sungai agar bijak dalam pengelolaan limbah domestik. “Apabila teridentifikasi penyebab lebih dominan dari aktivitas rumah tangga, maka lokasi tersebut dapat menjadi prioritas pembuatan IPAL Komunal atau ekoriparian. Berkolaborasi dengan Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (DPHK),” ungkapnya.
Pencemaran Sungai Berat, Ikan dan Biota Lainnya Mati
Sebelumnya, pada peringatan hari sungai 27 Juli lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, hampir 51 % sumber pencemar sungai-sungai besar di Indonesia berasal dari limbah dan sampah.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (KLHK) Sigit Reliantoro menyebut, sungai tercemar berat tahun 2021 mengalami penurunan signifikan. Sementara itu pencemaran sungai berat di tahun 2019 sebesar 53,28 %. Lalu pada tahun 2020 sungai tercemar berat 59,05 %.
Ia menyebut, kondisi sungai tercemar berat tahun 2021 sebesar 2,78 %, sungai tercemar sedang yaitu 17,59 %, kondisi sungai tercemar ringan sebesar 59,81 % dan memenuhi sebesar 20,12%.
“Kondisi ini karena masih minimnya fasilitas pengelolaan air limbah domestik dan cakupan layanan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) belum merata dapat masyarakat akses,” katanya.
Sigit menyatakan, air limbah dan sampah dapat menyebabkan biota-biota aliran sungai tak dapat hidup karena kekurangan oksigen.
“Kalau sungainya tercemar bahkan hingga tercemar berat maka kandungan oksigen di dalamnya turut menurun. Ini akan mempengaruhi kehidupan biota di dalamnya,” ujarnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin