Jakarta (Greeners) – Deterjen menjadi ancaman serius bagi sungai-sungai di Indonesia. “Sungai salju” imbas busa limbah deterjen yang mengandung bahan-bahan berbahaya jadi pemandangan yang kerap kali terjadi.
Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) Daru Setyorini mengatakan, limbah deterjen dari kegiatan industri dan rumah tangga sering dianggap tidak berbahaya. Anggapannya karena sifatnya dapat terurai dan konsentrasinya hanya sedikit mencemari lingkungan.
Padahal, banyak kajian analisis statistik mengungkap fakta cemaran kandungan surfactant dari deterjen memiliki konsentrasi sangat tinggi. Konsentrasi ini tidak dapat terurai di perairan berkadar oksigen rendah sehingga membahayakan lingkungan.
“Anggapan bahwa limbah deterjen tidak berbahaya adalah keliru. Daya racun surfactant telah dibuktikan pada mikroba, tumbuhan dan hewan,” katanya dalam keterangannya, baru-baru ini.
Kandungan Surfanctant Deterjen
Ia menyebut, deterjen umumnya tersusun atas tiga komponen utama yaitu, surfactant sebagai bahan aktif detergen yang berkisar antara 22–30 %. Lalu bahan penunjang (senyawa fosfat) dan bahan aditif (pemutih dan pewangi).
Jenis surfactant yang banyak digunakan adalah surfactant anionik Linear Alkyl benzene Sulfonat (LAS). LAS dapat terurai pada kondisi aerob yang mengandung oksigen dan mikroorganisme yang cukup. Namun degradasi secara alami membutuhkan waktu sekitar 9 hari dan hanya mampu menguraikan 50 %.
“LAS tidak dapat terurai dalam kondisi perairan anaerob tanpa oksigen. Sehingga LAS umumnya tidak dapat terurai secara alami di sungai yang sudah tercemar dan keruh,” ungkapnya.
Pencemaran limbah ini semakin meningkat karena penggunaan yang berlebihan dalam produk rumah tangga, pertanian dan pembersihan. Limbah deterjen mencemari perairan dengan kadar berkisar 0.4 and 40 mg/L.
Di Indonesia sendiri, sebagian besar pembuangan limbah ini tanpa penyaringan sehingga meracuni biota perairan. Pemerintah pun belum membangun sarana pengelolaan limbah cair rumah tangga.
Salah satu pencemaran deterjen dari aktivitas domestik terjadi di Keputih, Sukolilo, Surabaya. Pengujian menunjukkan konsentrasi surfactant anionik alkylbenzene sulphonate dan fosfat sebesar 10,65 ppm dan 14,148 ppm. Kadar ini melebihi baku mutu Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2013 sebesar 10 ppm.
Daru menegaskan, perlu pembatasan penggunaan deterjen di rumah tangga maupun industri untuk mengurangi pencemaran surfactant di lingkungan.
Ancam Organisme Air
Peneliti Pusat Penelitian Biomaterial Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lisman Suryanegara menyatakan, deterjen generasi awal muncul memanfaatkan bahan kimia pengaktif permukaan surfactant Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) yang mampu menghasilkan busa.
Akan tetapi, karena sifat ABS yang sulit diurai oleh mikroorganisme di tanah maka digantikan menggunakan senyawa Linier Alkyl Sulfonat (LAS) yang diyakini relatif lebih akrab dengan lingkungan.
“Meski diklaim lebih ramah lingkungan tapi deterjen tidak ramah terhadap organisme di dalam air,” kata dia.
Jika limbah ini masuk ke dalam air dan sungai maka berpotensi dapat mematikan ikan yang hidup di dalamnya. Zat berbahaya ini akan masuk ke dalam tubuh ikan langsung pada sistem sirkulasinya.
“Ini akan mengganggu metabolisme ikan. Jika melebihi ambang batas ikan akan mati,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin