Lestarikan Satwa Liar: Dua Orang Utan Dilepasliarkan di TNBKDS

Reading time: 3 menit
Pelepasliaran orang utan di Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (TNBKDS). Foto: KLHK
Pelepasliaran orang utan di Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (TNBKDS). Foto: KLHK

Jakarta (Greeners) – Dua orang utan kalimantan (Pongo pygmaeus) dilepasliarkan di Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (TNBKDS). Ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan satwa liar di hutan.

Pelepasliaran ini merupakan tahapan ke-14 kalinya semenjak tahun 2017. Sebelumnya, terdapat pelepasliaran 30 orang utan di kawasan Sub Das Mendalam TNBKDS.  Penentuan lokasi pelepasliaran setelah melalui kajian habitat ditinjau dari kesesuaian dengan preferensi habitat orang utan, baik dari segi pakan, ruang, sumber air, dan tutupan hutan serta jauh dari lokasi pemukiman masyarakat.

Dua orang utan kalimantan yang dilepasliarkan ini merupakan satwa hasil penyelamatan Balai KSDA Kalbar dari masyarakat. Satu orang utan berjenis kelamin betina dievakuasi dari masyarakat Kabupaten Mempawah pada tahun 2020.

Sementara itu, satu orang utan lainnya berjenis kelamin jantan berasal dari Kabupaten Melawi. Dalam rangka pemulihan kondisi dan sifat liarnya, kedua orang utan telah menjalani proses rehabilitasi di Sekolah Hutan Tembak oleh Yayasan Penyelamatan Orang Utan Sintang. Saat ini, kedua orang utan berusia delapan tahun.

Kepala BKSDA Kalimantan Barat, RM. Wiwied Widodo, menyampaikan proses menuju pelepasliaran orang utan sangatlah panjang dan mahal. Namun begitu, pihaknya memastikan semua prosedur dari awal sampai pelepasliaran sudah memenuhi persyaratan dan siap untuk dilepasliarkan. Persyaratan itu telah terpenuhi, baik terkait dengan administrasi maupun terkait satwanya sendiri.

“Apresiasi setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah bekerja keras dalam membantu upaya pelepasliaran kedua orang utan ini. Mulai dari penyelamatan, rehabilitasi, sampai dengan pelepasliaran sehingga berjalan dengan lancar dan sesuai prosedur,” kata Wiwied lewat keterangan tertulisnya, Kamis (1/8).

Wiwied menambahkan, kedua orang utan ini  telah menjalani rehabiltasi selama tiga sampai empat tahun. Selama dua tahun terakhir, mereka menjalani proses pengenalan alam Sekolah Hutan Tembak di Jerora.

Keduanya memiliki kemampuan lokomosi yang baik, pengenalan berbagai jenis pakan, dan memiliki keterampilan membuat sarang dan merenovasi sarang lama.

Pelepasliaran orang utan di Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (TNBKDS). Foto: KLHK

Pelepasliaran orang utan di Taman Nasional Betung Kerihun Danau Sentarum (TNBKDS). Foto: KLHK

Libatkan Masyarakat saat Pelepasliaran

Pelepasliaran orang utan kali ini memiliki momentum yang berbeda dari kegiatan-kegiatan pelepasliaran orang utan sebelumnya. Dari 13 kali kegiatan pelepasliaran yang telah BKSDA Kalbar lakukan bersama BBTNBKDS dan YPOS, pelepasliaran kali ini telah melibatkan banyak pihak dan elemen masyarakat.

Kader konservasi, Kesia Bong Sukhin, yang berkesempatan ikut pelepasliaran mengungkapkan perasaannya saat melihat pelepasliaran orang utan. Sebagai generasi muda, Kesia merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan orang utan.

“Orang utan merupakan mamalia yang paling cerdas dan bertugas menjaga ekosistem hutan kita. Jadi mulai sekarang, mari kita menjadi dan melestarikannya,” ungkap Kesia.

Menurut Kesia, pelepasliaran ini juga bukan sekedar kegiatan simbolis, tetapi berbagi rasa dan berbagi emosi. Baginya, merasakan pengalaman pelepasliaran orang utan ini bisa membangkitkan emosinya untuk terus menjaga orang utan.

Masyarakat Berperan untuk Jaga Kelestarian Satwa Liar

Sementara itu, Kepala BBTNBKDS, Sadtata Noor Adirahmanta mengatakan pelibatan stakeholder dan elemen masyarakat dalam pelepasliaran orang utan kali ini begitu penting. Dengan pelibatan banyak stakeholder dan masyarakat bisa membangkitkan dan menanamkan nilai-nilai konservasi, serta menimbulkan rasa kepedulian masyarakat menjadi bagian dalam upaya pelestarian alam.

Ia berharap konsep konservasi inklusif ini dapat menggerakkan masyarakat untuk ikut berperan dalam menjaga alam serta kelestarian satwa liar termasuk orang utan.

“Beri panggung kepada para pihak serta masyarakat dalam kegiatan pelepasliaran seperti ini. Dengan demikian, di bawah alam sadar mereka akan menerima hal baik ini sebagai tugas dan tanggung jawabnya untuk terus berperan dalam menjaga alam. Menjaga alam, menjaga ekosistem, menjaga satwa seperti orang utan bukan hanya tugas pemerintah atau mitra konservasi, tetapi merupakan tugas bersama,” ungkap Sadtata.

Setelah pelepasliaran, tim yang bertugas akan memantau kedua orang utan. Hal ini untuk memastikan orang utan tersebut bisa beradaptasi dan bertahan hidup di alam liar. Pemantauan dengan metode nest to nest dengan mengikuti orang utan mulai dari bangun saat pagi hari hingga tidur pada sore hari selama tiga bulan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top