Jakarta (Greeners) – Berdasarkan hasil penelitian bersama oleh jaringan Fair Finance Guide International (FFGI), selama tahun 2004 hingga 2014, tercatat total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan di sektor energi terbarukan meningkat. Peningkatan selama rentang 10 tahun tersebut sebesar 95 miliar dollar Amerika pada lima tahun pertama, menjadi 119 miliar dollar Amerika pada lima tahun kedua.
Meski demikian, jumlah ini masih sangat kecil dibandingkan dengan total pinjaman dan penjaminan untuk perusahaan berbasis bahan bakar fosil yang jumlahnya hampir 10 kali lipat, yaitu sebesar 1.023 miliar dollar Amerika.
Rotua Tampubolon, Sustainable Development Officer Perkumpulan Prakarsa, menyatakan, penelitian bertajuk “Hancurnya Masa Depan Kita” ini menyoroti pentingnya lembaga keuangan agar membuat komitmen untuk meningkatkan dampak positif dan mengurangi dampak negatif investasi mereka terhadap perubahan iklim. Laporan kajian ini sengaja diluncurkan sebulan menjelang pertemuan United Nations Climate Summit (COP21) di Paris pada bulan Desember 2015.
“Penelitian dilakukan dengan menganalisis tren pembiayaan 75 lembaga keuangan terhadap sektor bahan bakar fosil (batu bara serta minyak dan gas), perusahaan peralatan energi terbarukan (solar panel, pembangkit listrik tenaga surya, turbin angin, turbin listrik, dan rekayasa panas bumi), proyek-proyek energi terbarukan dan perusahaan utilitas, yang berada di 8 negara koalisi FFGI,” papar Rotua seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Jumat (06/11).
Di Indonesia sendiri, lanjutnya, penelitian dilakukan terhadap 11 lembaga keuangan, yakni Citibank, UFJ Mitsubshi, OCBC NISP, HSBC, CIMB Niaga, BNI, BRI, Mandiri, BCA, Danamon, Panin dan delapan perusahaan yang bergerak di sektor tambang batu bara serta utilitas. Walaupun sudah ada bank yang mulai mengurangi proporsi pembiayaan bahan bakar fosil, seperti UFJ Mitsubishi yang mengurangi investasi sebesar 8%, namun peminjaman dan penjaminan bank untuk bahan bakar yang paling polutif, seperti batu bara dan minyak bumi, masih jauh lebih tinggi.
“CIMB dan Panin misalnya, masih seratus persen berinvestasi di bahan bakar fosil. Bank jumbo lainnya, seperti Mandiri masih 99 persen, sedangkan BRI dan BCA masing-masing masih 98 persen,” tambahnya.
Pius Ginting, Manajer Kajian dari Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), berpendapat, penggunaan bahan bakar fosil seperti batubara sebenarnya sudah mulai ditinggalkan. Amerika Serikat dalam masa pemerintahan Obama, misalnya, telah menutup sekitar 200 PLTU batubara. Tiongkok juga telah mengurangi impor batu bara. Sehingga, Indonesia sekarang menjadi incaran penjual teknologi batubara, padahal teknologi tersebut adalah teknologi kotor.
Dalam kondisi seperti ini, tegas Pius, Indonesia semestinya tidak menjadikan dirinya sebagai pasar. Pius berharap seluruh bank dan institusi finansial lainnya, baik dari dalam dan luar negeri, menghentikan dukungan investasinya pada teknologi batubara.
“Memang benar lembaga keuangan telah mulai memasarkan obligasi “hijau” dan produk-produk berkelanjutan kepada konsumen, namun lembaga keuangan masih juga terus meningkatkan pembiayaan untuk bahan bakar fosil. Ini seperti greenwashing! Makanya, ada harapan lembaga keuangan ini jangan hanya membuat komitmen tanpa makna,” pungkasnya.
Penulis: Danny Kosasih