Jakarta (Greeners) – Tim Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengkritisi lambannya proses Gugatan Warga Negara atas Pencemaran Udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. LBH Jakarta membandingkan kasus serupa di wilayah lain yang biasanya selesai dalam waktu yang lebih singkat.
“Kalau kita berbicara gugatan perdata selesai paling lama dalam jangka lima bulan. Kalau kita cek gugatan lainnya mengenai pencemaran udara seperti di Kalimantan yang mengakibatkan polusi udara 1,5 tahun selesai. Sedangkan kita, 1,5 tahun baru berproses persidangan,” ujar Tim Advokasi yang mendampingi proses hukum 32 penggugat dari LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, pada Media Brieifing Catatan Akhir Tahun 2020 Koalisi Ibukota, Senin (14/12/2020).
Pada sidang terakhir November lalu, Ayu menyebut ada 88 alat bukti surat dan tiga saksi fakta di muka persidangan.
“Tiga saksi fakta tersebut ada yang dari open-call (mengundang masyarakat umum yang menderita akibat pencemaran udara dan mau berpartisipasi), dan kita juga akan menghadirkan tiga saksi ahli,” kata Ayu.
Dalam proses persidangan, lanjutnya, kuasa hukum tergugat merespons dengan cukup defensif.
“Pengakuan dari saksi fakta dianggap sebagai penyakit yang sudah lama, bukan karena polusi udara. Lalu harus berapa banyak lagi warga negara yang menderita pencemaran udara?” jelas Ayu.
Kuasa Hukum Tergugat: Standar WHO Terlalu Tinggi
Selain itu, Ayu melanjutkan, tanggapan negatif dari tujuh tergugat juga mereka sampaikan dengan mengatakan standar World Health Organization (WHO) terlalu tinggi. Padahal, banyak negara mengikuti standar tersebut. Lebih jauh, lanjut Ayu, kuasa hukum tergugat berdalih tidak ada kewajiban bagi pemerintah mengikuti standar tersebut.
“Padahal jelas, meski standar WHO terbilang tinggi, tapi mereka menggunakan klaster-klaster. Sebenarnya meski standarnya tinggi, pemerintah bisa menerapkan turunan dari aturan tersebut secara bertahap. Tapi pemerintah beranggapan itu adalah hal yang tidak mungkin, dan berdalih punya standar sendiri,” tutur Ayu.
Kuasa hukum penggugat, sambung Ayu, menyatakan tidak mengetahui standar yang pemerintah jadikan acuan. Alasannya, dua saksi fakta –yang merupakan aktivis lingkungan hidup– mengungkap sudah banyak aduan masyarakat yang mengalami dampak pencemaran udara.
“Artinya, sebenarnya kesadaran masyarakat sudah cukup tinggi, tapi pemerintah yang tidak sadar apa yang harus dilakukan,” sebutnya.
Baca juga: Penerapan Ekonomi Melingkar Indonesia Masih Tradisional
ICEL Soroti Urgensi Implementasi Uji Emisi Kendaraan Bermotor
Peneliti dari Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian, Center for Environmental Law (ICEL), Bella Nathania, menggema hal yang sama. Bella mereken pemerintah seharusnya mengimplementasikan uji emisi kendaraan bermotor untuk mengurangi polusi yang merupakan penyumbang polusi paling tinggi di Jakarta.
Bella menuturkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah mengundangkan Peraturan Gubernur No. 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor pada Juli 2020. Namun, implementasinya baru pada Desember 2020. Saat ini, lanjut Bella, terdapat 54.468 kendaraan yang telah melalui uji emisi dari jumlah kendaraan 11,8 juta di DKI Jakarta.
“Sepanjang waktu baru menguji angka itu sementara jumlah kendaraan di Jakarta terus bertambah. Kapan uji emisi ini akan selesai? Masih banyak sekali kendaraan yang belum melakukan uji emisi. Bebannya adalah uji emisi kendaraan yang belum diuji, dan menguji emisi kendaraan yang sudah melakukan uji emisi setahun sekali. Jadi luar biasa sekali PR-nya,” papar Bella.
Menutup diskusi media, Koalisi Ibu Kota berharap, sebelum proses gugatan yang berlangsung di Pengadilan Jakarta Pusat selesai, pemerintah sudah melakukan rencana aktif untuk mengatasi masalah pencemaran udara Jakarta.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Ixora Devi