Jakarta (Greeners) – Pencabutan larangan ekspor batu bara menunjukkan kurang seriusnya pemerintah menghentikan krisis iklim. Keputusan ini juga mencederai target penghentian penggunaan batu bara (coal phase out) Indonesia tahun 2040 dengan energi bersih dan terbarukan.
Hal tersebut Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya tegaskan terkait pencabutan larangan ekspor batu bara. Ia menyatakan, pemanfaatan energi batu bara selama ini berada dalam pusaran banyak kepentingan.
Kebijakan pelarangan ekspor batu bara sebelumnya muncul karena kekurangan pasokan batu bara pembangkit yang memasok listrik ke PLN. Utamanya, karena adanya pelanggaran terhadap kewajiban domestic market obligation (DMO).
DMO merupakan kewajiban bagi pengusaha batu bara untuk menyisihkan 25 % produksinya per tahun. Pengusaha batu bara harus menjualnya ke PLN dan bahan bakar industri dalam negeri dengan harga US$ 70 per ton.
Sementara itu, kenaikan harga batu bara di pasar menyebabkan pengusaha lokal lebih memilih mengekspornya ketimbang menjualnya ke PLN. Imbasnya, PLN krisis pasokan batu bara. Sebanyak 20 pembangkit listrik di dalam negeri membutuhkan 5,1 juta ton batu bara untuk operasionalnya.
Kebijakan penutupan ekspor batu bara melalui Keputusan Menteri Energi tentang DMO pada 1 Januari hingga 31 Januari 2022 mendapat protes dari berbagai negara. Pasalnya, negara-negara seperti Korea, Filipina, Jepang, hingga China telah menjalin kontrak dengan pengusaha batu bara Indonesia. Akhirnya, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi mencabut larangan itu, Senin (10/1).
Hampir 60 % Kelistrikan Indonesia Bergantung pada Energi Batu Bara
Tata mengungkapkan, saat ini 60 % kelistrikan Indonesia bergantung dari energi batu bara. Krisis iklim karena produksi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara menjadi dampaknya. Strategi untuk menghentikan krisis iklim yakni dengan coal phase out PLTU batu bara di tahun 2040.
“Jadi memang tidak mendadak (beralih), tapi harus mulai saat ini untuk coal phase out di tahun 2040 dan menggantinya dengan energi bersih terbarukan,” kata Tata kepada Greneers, Rabu (12/1).
Untuk mencapai target tersebut pemerintah harus tidak lagi membangun PLTU batu bara baru. Lalu memastikan pensiun dini PLTU batu bara eksisting serta pengembangan energi bersih dan terbarukan yang melimpah.
Tata tak memungkiri bahwa dunia masih menggunakan batu bara sebagai energi utama. Namun, selalu mengalami percepatan shifting ke energi terbarukan dengan pengecualian Asia Selatan dan Asia Tenggara. “Nah, di Asia Tenggara sendiri Indonesia sangat tertinggal dari negara-negara lain seperti Thailand, Filipina dan Vietnam,” ujarnya.
Tantangan Penggunaan Energi Terbarukan
Untuk menekan krisis iklim banyak yang menilai, energi terbarukan tergolong sumber energi mahal. Tak heran jika pemerintah memprioritaskan pemanfaatan energi fosil yang lebih murah. Tata menyebut, energi matahari sudah turun biaya pembangkitannya sebesar 90 % dalam 10 tahun terakhir. Dukungan pemerintah terhadap penggunaan energi terbarukan sangat penting.
“Dibanding Filipina dan Thailand, di Indonesia memang sedikit lebih mahal. Tapi dalam beberapa tahun ke depan akan lebih murah asal ada insentif dan regulasi yang mendukung,” imbuhnya.
Konflik kepentingan larangan ekspor batu bara imbas kebijakan DMO memberikan pelajaran pentingnya diversifikasi sumber bahan bakar agar tak bergantung dengan energi fosil.
Manager Kampanye Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Tri Jambore menyatakan, pemerintah selama ini menganggap batu bara sebagai “anak emas” daripada energi lainnya. Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah No 25 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral menyebut pengenaan royalti sebesar 0 % pada komoditas pertambangan batu bara.
Tantangan menuju pemanfaatan energi utama harus segera bertransisi menuju energi terbarukan. Indonesia, sambung dia memiliki pilihan cukup banyak karena posisinya yang strategis di jalur khatulistiwa. Penting, kata dia untuk memastikan political will dari pemerintah terlebih dahulu.
“Pilihan energi di Indonesia cukup banyak, seperti energi angin, surya, serta gelombang yang memadai. Intinya political will saja,” imbuhnya.
Penulis : Ramadani Wahyu