Jakarta (Greeners) – Setiap sentuhan pengembangan kawasan konservasi selain harus berpegang pada kaidah ilmiah juga harus menghormati hak hidup setiap spesies yang berada di lokasi tersebut. Setiap spesies memiliki peran tersendiri dalam sebuah ekosistem. Adanya gangguan akan berujung pada terganggunya ekosistem termasuk juga memengaruhi masa depan kehidupan manusia.
Saat ini, kehidupan manusia modern sangat dekat dengan gemerlapnya cahaya. Namun selain sisi positif, gemerlapnya dunia punya sisi negatif terutama bagi hewan dan tumbuhan yang perlu kegelapan untuk berkembang biak.
Pakar ekologi serangga Prof Damayanti Buchori mengatakan, artificial light at night (ALAN) menarik perhatian peneliti yang khawatir dampaknya terhadap kehidupan. Benar saja dalam berbagai temuan, ALAN ini memiliki banyak pengaruh terutama pada mahkluk hidup yang beraktivitas di malam hari.
“Penggunaan cahaya buatan atau ALAN dapat menggangu proses biologi makhluk hidup di sekitarnya, baik itu tumbuhan, hewan maupun manusia itu sendiri. ALAN dapat mengubah ritme jam biologi dari suatu makhluk hidup,” katanya dalam webinar di Jakarta, Sabtu (27/11).
Webinar gelaran INSPECTUS bertajuk Wisata Cahaya dan Dampaknya Bagi Ekosistem Kebun Raya Bogor: Arah Baru Etika Politik Lingkungan Menyikapi Isu Perubahan Iklim ini juga menampilkan penanggap para mantan Kepala Kebun Raya Bogor.
Masih terkait ALAN, Guru Besar Institut Pertanian Bogor ini mengungkapkan, tumbuhan akan terganggu pertumbuhan dan aliran fotosintesis, seperti terjadinya kerontokan daun yang tidak wajar. Pada hewan mengganggu orientasi dan migrasi pada malam hari. Sedangkan pada manusia mengganggu kesehatan, seperti insomnia, depresi dan gangguan makan.
ALAN juga berpengaruh negatif terhadap aktivitas serangga penyerbuk. Menyebabkan kunjungan penyerbuk nokturnal ke tanaman menurun hingga 62 % dibandingkan dengan area yang gelap dengan pencahayaan alami. Pembentukan buah juga mengalami penurunan 13 % berbanding area yang gelap. Hal ini karena kunjungan penyerbuk pada bunga menurun.
Kearifan Memandang KRB Pusat Konservasi
Lebih lanjut ia mengungkapkan, kebun raya memiliki konteks konservasi cagar budaya hutan kota, refugia tempat berlindung terhadap sisa-sisa biodiversitas. Apalagi kebun raya berada di tengah cekaman perubahan iklim dan perkembangan kota.
“Jangan kita mengatakan so what. Berarti kita tidak peduli lagi dengan fungsi manusia yang seharusnya menjaga alam,” imbuhnya.
Ia mengutip UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebut status KRB sebagai kawasan lindung kota yang mensyaratkan adanya prosedur dan studi kelayakan untuk intervensi kawasan.
“Aktivitas apapun yang di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan fungsinya sebagai kawasan perlindungan plasma nutfah KRB,” kata Damayanti.
Ia menambahkan, semua penemuan para ahli ini menunjukkan perlunya penggalian ilmu pengetahuan untuk dapat memahami kompleksitas fenomena ALAN dengan penuh kearifan.
“Teknologi memang telah mengubah wajah kehidupan dan sering kali walaupun sudah yang kita ketahui masih banyak yang tidak kita ketahui,” ujarnya.
Perhatikan Dampak Lingkungan dari Setiap Aktivitas Manusia
Pakar hukum dan komunikasi Universitas Soegijapranata Benny Setianto juga berpandangan, saat ini arah pembangunan harus mengacu pada keberlanjutan (sustainable development). Sehingga apapun yang manusia lakukan akan selalu berdampak terhadap lingkungannya.
“KRB memang tidak benar-benar natural ada sentuhan manusia di dalamnya. Namun setiap apapun di dalam ekosistem itu harus kita hormati,” tegasnya.
Gerakan kesadaran lingkungan lanjutnya akan membuat manusia membatasi perilakunya terhadap alam dan lingkungannya. Benny pun mengapresiasi setiap orang yang berkiprah di KRB. Tetapi ia mengingatkan, perlunya membuat kemasan baru untuk mempromosikan KRB dengan cara yang tidak melanggar hak alam dan isinya untuk sehat dan bertumbuh. Ia pun mempertanyakan siapa yang akan meraup untung dari kemasan wisata KRB yang saat ini ramai menjadi buah bibir (Glow).
“Hak manusia sehat juga sama persis hak itu berlaku pada alam yang berhak sehat dari pandangan ekosentrisme,” katanya.
KRB Konservasi Ex-Situ Berusia 200 Tahun
Mantan Kepala KRB tahun 1997-2003 Dedy Darnaedi mengungkapkan, ekosistem KRB sangat kompleks. KRB yang sudah berusia 200 tahun memiliki sesuatu yang unik. Peran KRB untuk menyelamatkan spesies terancam punah sudah terbukti. Itulah mengapa marwah KRB tetap harus terjaga.
“Memang KRB ekosistem buatan manusia namun perjalanan 200 tahun itu sangat panjang. Begitu banyak spesies yang dinyatakan punah namun KRB berhasil konservasi,” imbuhnya.
Senada dengannya Mantan Kepala Kebun Raya tahun 2008-2013 Mustaid Siregar juga mengungkapkan, esensi dan keberadaan KRB harus sesuai dengan tujuan pendiriannya. Ia mengaku saat dirinya menjabat, sangat jeli mencermati setiap kerja sama yang pihak lain tawarkan.
“Ada hal yang bisa dan tidak bisa karena bertentangan dengan semangat adanya KRB. Literasi publik terhadap lingkungan dan ekologi lahir dari adanya KRB. Harapannya jangan terjebak hanya mengejar pendapatan, sebab pendidikan lingkungan adalah kunci,” paparnya.
Penulis : Ari Rikin