Belitung (Greeners) – Lahan bekas tambang timah di Desa Juru Seberang Belitung diubah menjadi Taman Wisata Mangrove lewat kolaborasi berbagai pihak dalam upaya rehabilitasi ekosistem bekas tambang. Kini, tempat dengan tajuk Ekowisata Belitung Mangrove Park memberikan manfaat secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat.
Sebelum menjadi ekowisata mangrove, lahan tersebut merupakan tempat masyarakat sekitar menambang secara inkonvensional. Aktivitas penambangan tersebut memengaruhi kesehatan, keselamatan, serta kemakmuran masyarakat sekitar. Situasi itu juga berdampak pada lingkungan pesisir dan ekosistem laut.
Kondisi itu coba diperbaiki dengan upaya rehabiltasi oleh masyarakat. Dua motor penggerak rehabilitasi kawasan tersebut adalah Yayasan Terumbu Karang Indonesia dan kelompok Hutan Kemasyarakatan Seberang Bersatu (Hkm Seberang Bersatu). Sejak tahun 2017 hingga 2018 dua kelompok tersebut mengelola dana hibah Badan Pembangunan Internasional Amerika (USAID) yang disalurkan lewat Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
BACA JUGA : WALHI dan KIARA Minta Pembangunan Jangan Korbankan Ekosistem Mangrove
Dana hibah tersebut merupakan komitmen pemerintah Amerika untuk membantu Indonesia mengatasi permasalahan iklim. USAID mempunyai misi untuk menurunkan efek emisi rumah kaca dari hutan, energi, dan sektor lainnya di Indonesia.
“Melalui kemitraan dan kontribusi kami kepada Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF), kami mempromosikan pembangunan rendah karbon dan ketangguhan Indonesia agar dapat melindungi lingkungan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan masyarakat setempat,” ungkap Jason Seuc, Wakil Direktur Kantor Lingkungan Hidup USAID.
Masyarakat Desa Juru Seberang secara aktif dilibatkan dalam proses rehabilitasi. Tidak hanya itu, masyarakat juga turut mengelola dan mengembangkan ekowisata lewat serangkaian aktivitas pelatihan, pemantauan ekosistem pesisir, pengelolaan uang usaha kecil, diversifikasi produk wisata dan perencanaan kawasan konservasi.
“Ketika laut tercemar maka akan mempengaruhi hasil tangkapan ikan dan lahan tambang tentunya sulit untuk dijadikan lahan produktif, dengan adanya Belitung Mangrove Park masyarakat di sekitar Desa Juru Seberang dilibatkan dalam rehabilitasi mangrove dan hutan pantai hingga mengelola dan mengembangkan ekowisata,” jelas Wandi, ketua Hkm Seberang Bersatu.
Kolaborasi rehabilitasi lahan bekas tambang yang terjadi di Desa Juru Seberang diharapkan dapat diterapkan di desa lainnya. Proyek kolaborasi Belitung Mangrove Park memiliki potensi penurunan emisi sebesar 220.200 tC02eq/ tahun dan turut meningkatkan pendapatan 20 keluarga dan Pendapatan Asil Daerah Kabupaten Belitung.
Pengenalan Belitung Mangrove Park dilakukan dalam rangkaian agenda ICCTF 2019. Selama satu dekade terakhir, sejak 2009, ICCTF bergerak mendukung mekanisme keuangan terintegrasi untuk mendukung kebijakan dan program nasional Indonesia mengenai perubahan iklim.
BACA JUGA : Kebun Raya Mangrove Pertama di Dunia akan Dibangun di Surabaya
Melalui kemitraan dan kontribusi kepada Dana Perwalian Perubahan Iklim Indonesia (ICCTF), para kolaborator turut mempromosikan pembangunan rendah karbon dan ketangguhan Indonesia agar dapat melindungi lingkungan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi untuk kepentingan masyarakat setempat.
Direktur Lingkungan Hidup Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ir. Medrilzam, M.Prof.Econ, Ph.D menjelaskan bahwa ICCTF ikut merestorasi lahan gambut seluas 73.600 ha pada 5 provinsi di Indonesia yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sejak 2017-2019, tidak ada lahan gambut yang terbakar di area proyek ICCTF karena masyarakat diajak berpartisipasi menjadi Masyarakat Peduli Api.
“Belitung Mangrove Park merupakan salah satu proyek percontohan untuk pembangunan rendah karbon, kita bisa melihat bahwa lingkungan yang lestari menurunkan tingkat Emisi GRK, menciptakan peluang peningkatan ekonomi serta pembanguan manusia dapat terus berjalan,” pungkas Medrizam.
Penulis : Mohammad Fariansyah