Kualitas Udara Jakarta Cenderung Memburuk pada Malam Jelang Pagi

Reading time: 2 menit
Ilustrasi alat pemantau kualitas udara. Foto: Dini Jembar Wardani
Ilustrasi alat pemantau kualitas udara. Foto: Dini Jembar Wardani

Jakarta (Greeners) – Kualitas udara Jakarta kian memburuk pada malam menjelang pagi hari, dengan kadar Particulate Matter (PM 2,5) yang meningkat. Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Taryono, menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi karena udara menjadi lebih rapat akibat massa udara yang turun, sehingga menjebak polutan dari aktivitas sehari-hari di permukaan.

“Selepas pagi hari, tingginya aktivitas masyarakat menyebabkan konsentrasi PM 2,5 tetap tinggi hingga perlahan turun menjelang sore hari. Selanjutnya, pada sore hari, kondisi atmosfer sudah hangat, polutan lebih terangkat ke atas, ” ungkap Taryono dalam Journalist Class “Pengukuran Kualitas Udara untuk Mitigasi Perubahan Iklim”, Senin (14/10).

PM2,5 adalah partikel udara berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2,5 μm (mikrometer). Konsentrasi ini tidak semata-mata disebabkan oleh polutan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk cuaca dan iklim. Fenomena cuaca dan iklim dapat mempengaruhi kadar PM 2,5 di suatu wilayah.

Menurut data BMKG dari 2004 hingga 2022, curah hujan berdampak signifikan terhadap kadar PM 2,5. Saat curah hujan tinggi, terjadi proses disposisi basah yang menurunkan kadar PM 2,5. Sebaliknya, pada musim kemarau atau saat curah hujan rendah, kadar PM 2,5 cenderung tidak turun.

Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara BMKG Taryono menjelaskan tentang pencemaran udara Jakarta. Foto: Dini Jembar Wardani

Kepala Sub Bidang Informasi Pencemaran Udara BMKG Taryono menjelaskan tentang pencemaran udara Jakarta. Foto: Dini Jembar Wardani

Pengaruh Lapisan Inversi

Selain itu, fenomena lapisan inversi juga berkontribusi mempengaruhi kondisi kualitas udara. Lapisan inversi merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara yang seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan.

Pada lapisan inversi, imbuh Taryono, suhu udara seharusnya semakin rendah saat ketinggian bertambah. Namun, pada lapisan tertentu, suhu justru lebih tinggi. Ini telah menghalangi polutan untuk terangkat lebih tinggi ke atmosfer.

BACA JUGA: Kualitas Udara Buruk, DLH DKI Kembangkan Sistem Inventarisasi Emisi

“Fenomena ini biasanya terjadi pada pagi hari sebelum matahari terbit. Setelah itu, suhu meningkat. Ini  memungkinkan polutan untuk terangkat ke atmosfer yang lebih tinggi,” tambahnya.

Sebagai contoh, data dari radiosonde pada pukul 07.00 WIB tanggal 15 Agustus 2023 di Jakarta. Data itu menunjukkan adanya lapisan inversi sekitar ketinggian 1500-2000 meter. Hal itu berdampak terhadap terperangkapnya polutan di ketinggian tersebut dan tingginya konsentrasi partikulat di permukaan pada pagi hari.

BMKG Punya 27 Alat Pemantau Kualitas Udara

BMKG telah memasang 27 peralatan monitoring PM 2,5 dan empat peralatan gas rumah kaca di sejumlah wilayah Indonesia hingga tahun 2024. Sebagian besar alat tersebut dipasang di wilayah rawan kebakaran hutan dan lahan, seperti di Sumatra dan Kalimantan.

Ke depannya, BMKG akan memperluas pengamatan PM 2,5 ke wilayah Indonesia Timur dan daerah-daerah wisata. Mereka akan mendukung pengamatan terkait dengan PM 2,5 di area tersebut.

BACA JUGA: Tanpa Hujan, Kemarau Ekstrem Bisa Perburuk Polusi Udara

Selain itu, BMKG juga memiliki empat alat untuk memantau gas rumah kaca yang berlokasi di Jakarta, Jambi, Palu, dan Sorong. Untuk konsentrasi PM 2,5, ke-27 lokasi pemantauan memiliki alat standar dari World Meteorological Organization (WMO). Alat tersebut berbeda dari peralatan yang digunakan oleh lembaga swasta lainnya.

Setiap jam, data dari ke-27 alat ini dikirim ke pusat untuk diolah menjadi informasi yang dapat masyarakat akses. Data tersebut juga dapat masyarakat lihat melalui website dan aplikasi BMKG untuk memudahkan pemantauan kualitas udara.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top