Jakarta (Greeners) – Pemberlakuan kegiatan bekerja dari rumah sebagai salah satu dampak dari pandemi Covid-19 membuat kualitas udara di DKI Jakarta stabil. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Dasrul Chaniago mengatakan tren kualitas udara pada saat Physical Distancing maupun Work From Home relatif stabil di bawah baku mutu.
KLHK menggunakan Particulate Matter 2,5 (PM2,5) sebagai parameter kualitas udara di Jakarta. Pengukuran dilakukan dengan membandingkan partikel udara di minggu yang sama pada tahun lalu dengan tiga minggu ketika diimbau untuk beraktivitas dari rumah. Sedangkan di tahun lalu, pada minggu yang sama, kurvanya berada di puncak dan dinilai cukup tinggi bahkan mencapai rata-rata harian 65 µg/m3.
Baca juga: Pemerintah Tetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar Bukan Karantina Wilayah
“Jika dibandingkan dengan dua minggu sebelum WFH, kualitasnya lebih bagus. Namun, harus diwaspadai juga bahwa bulan April ini sudah masuk musim panas dan kering serta adanya angin muson timur yang membawa udara berbeda dan lebih tidak bagus,” ujar Dasrul kepada Greeners, Kamis (02/04/2020).
Sementara itu, Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mengeluarkan data analisa kualitas udara semasa WFH. Data tersebut didasarkan pada Ambient Air Quality Monitoring Station (AAQMS) atau Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien. KPBB juga menggunakan Roadside Air Quality Monitoring (RAQM) atau Pemantauan Kualitas Udara Pinggir Jalan yang ditempatkan di lima titik agar merepresentasikan wilayah kota di Jakarta.
Direktur Eksekutif KPBB Ahmad Safrudin mengatakan penerapan pembatasan fisik belum berhasil menurunkan pencemaran udara di DKI Jakarta. Kualitas udara masih berada pada kategori tidak sehat, meskipun berada di bawah Nilai Ambang Batas (NAB) yang diperbolehkan yakni 65 µg/m3. Selama sepuluh hari pengukuran, dari 16 sampai 25 Maret 2020, diketahui konsentrasi rata-rata PM2,5 sebesar 44.55 µg/m3.
“Apabila diteruskan dengan physical distancing secara disiplin dan diikuti pelarangan kendaraan penumpang, pribadi, dan umum (yang) melintas di jalan raya, penurunan pencemaran udara ini akan efektif dan mampu mencapai kualitas udara baik,” ucap Ahmad.
Untuk AAQMS, KPBB menggunakan data hasil pemantauan AAQMS–US Embassy yang ditempatkan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Pengukuran selama sepuluh hari di Jakarta Pusat menunjukkan hasil rata-rata 30.13 µg/m3 atau masih lebih tinggi dari rata-rata tahun lalu, yakni 14.99 µg/m3.
Sementara di Jakarta Selatan, rata-rata konsentrasi PM2,5 pada saat diterapkan physical distancing antara tanggal 16 – 25 Maret 2020 adalah 44.62 µg/m3. Menurut Ahmad, ini juga masih lebih tinggi dari rata-rata pada periode tahun lalu (30.49 µg/m3), sekalipun mulai menunjukkan penurunan secara berangsur-angsur.
Sedangkan Roadside Air Quality Monitoring berlangsung di lima titik pemantauan dan dilakukan pada tanggal 17 sampai 23 Maret 2020. Pemantauan memeriksa enam parameter udara seperti Karbon Monoksida (CO), Hidro Karbon (HC), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), Partikulat Udara Berukuran 10 meter (PM10), dan Sulfur Dioksida (SO2). Keenam parameter tersebut menunjukkan kecenderungan penurunan yang tajam dibandingkan hasil pengukuran di lokasi serupa pada 2011 hingga 2019.
Baca juga: Kemunculan Penyakit Zoonosis Akibat Ketidakseimbangan Lingkungan
“Hal ini menunjukkan bahwa social/physical distancing memiliki efek yang positif dalam pengendalian pencemaran udara. Dan berpotensi meningkatkan kualitas udara Jakarta menjadi kategori baik pada lima hingga sepuluh hari ke depan,” ujarnya.
Menurut Ahmad, kebijakan ini perlu dilanjutkan dengan tingkat disiplin yang tinggi. Partisipasi menjalankan pembatasan jarak fisik atau sosial, kata dia, dimulai dari masyarakat maupun aparat penegak hukum. Ahmad menilai, upaya ini akan lebih cepat apabila didukung karantina wilayah. Di samping pelarangan operasional kendaraan pribadi di jalanan untuk tujuan yang tidak mendesak atau dalam keadaan darurat.
Pencemaran Udara Ambien Masih Tinggi
Ahmad mengatakan pencemaran udara ambien masih tinggi dikarenakan adanya eksposur dari industri di Jabodetabek. Menurutnya industri tetap berproduksi sekalipun terjadi penurunan akibat physical distancing, termasuk pabrik semen di kawasan Bogor. Ia menuturkan, 33 persen energi pabrik di DKI Jakarta menggunakan bahan bakar batu bara. Ahmad menyebut 7,26 persen PM2,5 berasal dari sana.
Selain itu, di DKI Jakarta terutama Pelabuhan Tanjung Priok dan Pelabuhan Batu-bara Marunda, aktivitas loading maupun unloading kapal-kapal masih berlangsung. Menurut Ahmad, kapal-kapal tersebut berbahan bakar Marine Fuel dengan kadar belerang di atas 10.000 ppm dan menjadi pemicu pencemaran udara.
“Selama ini secara nasional kapal-kapal tersebut bertanggung jawab atas 7.100 kematian per tahun akibat pencemaran udara di Indonesia (2015). Dan yang bersandar di Pantura Jakarta berkontribusi lebih dari 27 persen terhadap sumbangan emisi transportasi di DKI Jakarta,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani