Jakarta (Greeners) – Greenpeace dan Celios memberikan rapor merah dan kritikan dalam 100 hari kepemimpinan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Mereka menilai kinerja ini berdasarkan komitmen, pernyataan, dan kebijakan pemerintah sejak pelantikan 20 Oktober 2024.
Mereka menilai berbagai kebijakan pemerintah memperkuat warisan Joko Widodo yang menguntungkan oligarki, namun merugikan rakyat dan lingkungan. Prabowo-Gibran juga dinilai kembali pada pola lama solusi instan yang gagal menyelesaikan masalah struktural secara mendalam.
Catatan kritis yang pertama yaitu menyoroti rencana alih fungsi 20 juta hektare hutan untuk swasembada pangan dan energi. Hal itu memicu kekhawatiran terhadap komitmen iklim dan biodiversitas Indonesia.
Alih fungsi ini mengancam lingkungan, mempercepat kepunahan keanekaragaman hayati, dan merugikan masyarakat adat serta lokal yang bergantung pada hutan. Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak menyebut gagasan kedaulatan pangan dan energi Prabowo sebagai ilusi.
“Pembukaan lahan jelas akan meningkatkan emisi karbon, termasuk memicu kebakaran dan kabut asap, terutama di lahan gambut. Menyamakan perkebunan kelapa sawit dengan keanekaragaman hutan Indonesia yang kaya adalah kekeliruan besar,” ujar Leonard di Jakarta, Kamis (23/1).
BACA JUGA: 100 Hari Pemerintahan Prabowo, Transisi Energi Terbarukan Masih Jalan di Tempat
Setelah menyatakan rencana kontroversial menyulap 20 juta hektare hutan itu, Prabowo juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Perpres ini bermasalah karena kental dengan pendekatan militerisme yang terlihat jelas dari penunjukan menteri pertahanan dan TNI untuk mengurus penertiban kawasan hutan.
Menurutnya, militerisme atas nama penertiban kawasan hutan ini berpotensi menambah daftar panjang tindakan represif negara terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal. Padahal, mereka selama ini hidup dan beraktivitas di sekitar hutan. Tindakan represif itu sudah terjadi di pusaran proyek food and energy estate di Merauke, Papua Selatan.
“Dengan struktur satgas yang problematik ini, kita patut mempertanyakan komitmen dan transparansi pemerintah untuk menertibkan dan melindungi kawasan hutan,” tambah Leonard.
Soroti Transisi Energi
Greenpeace juga memberikan perhatian terhadap transisi energi di bawah pemerintahan Prabowo-Gibran. Meskipun Prabowo menyatakan komitmen transisi energi, kebijakan pemerintah justru mendukung hilirisasi batu bara, termasuk pembangunan PLTU baru. Target energi terbarukan 100% masih sumir dengan cakupan saat ini hanya 14% dan pertumbuhan tahunan hanya sekitar 1%.
Selain itu, penghentian impor sampah plastik mulai 2025 mencerminkan komitmen terhadap Konvensi Basel. Namun, keberhasilannya diragukan akibat minimnya peta jalan dan infrastruktur. Program waste to energy (WTE) berisiko membebani anggaran dan mengalihkan fokus dari solusi pengurangan sampah di hulu.
Di sisi lain, Program Makan Bergizi Gratis (MBG), salah satu quick wins andalan kampanye Prabowo-Gibran saat Pilpres 2024, diharapkan mendorong pengembangan SDM unggul. Namun, Greenpeace dan Celios menilai implementasinya terkesan tergesa-gesa dan kurang matang.
Pemerintah mengalokasikan Rp71 triliun dalam RAPBN 2025 untuk Program MBG. Namun, anggaran ini hanya mencakup periode Januari-Juni dengan asumsi Rp10 ribu per porsi. Hingga akhir tahun, prediksi biaya bakal mencapai Rp420 triliun yang berisiko memperlebar defisit fiskal.
Peluncuran program pada 6 Januari untuk 600 ribu siswa di 26 provinsi menuai kritik. Hal itu mencakup masalah kuantitas, kualitas gizi, ketepatan pengiriman, dan menu makanan.
Greenpeace juga menyoroti potensi peningkatan food waste. Analisis Walhi menunjukkan tiap siswa menghasilkan 25-50 gram sisa makanan, menambah 425-850 ton sampah per hari.
“Meski penggunaan wadah stainless steel positif, peningkatan food waste ini berpotensi menambah emisi gas rumah kaca hingga 127,5-255 ton CO2e per hari,” kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Atha Rasyadi.
Target Ekonomi Terlalu Ambisius
Pertumbuhan ekonomi sering jadi tolok ukur kesuksesan negara, mendorong ambisi Prabowo-Gibran mencapai 8 persen. Namun, Celios menilai target ini terlalu ambisius di tengah pelemahan ekonomi.
Dari Mei hingga September 2024, Indonesia mengalami deflasi lima bulan berturut-turut. Sementara, 80.000 pekerja sektor padat karya, seperti tekstil dan alas kaki, kehilangan pekerjaan akibat lemahnya pengawasan barang impor murah. Di sisi lain, hilirisasi yang pemerintah promosikan minim manfaat ekonomi dan sarat bencana lingkungan.
Menurut Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, hilirisasi era Prabowo masih terjebak pada olahan primer. Hal itu kurang berkorelasi dengan upaya mencegah deindustrialisasi prematur.
BACA JUGA: Banjir Kritikan, Masyarakat Sipil Sebut AZEC Timbulkan Banyak Masalah
“Pembangunan smelter terus didorong beserta paket PLTU batubara di kawasan industri. Namun, porsi industri manufaktur terhadap PDB tetap di bawah 20% tentu ini butuh koreksi besar-besaran kebijakan hilirisasi,” ujar Bhima.
Dampak dari kebijakan hilirisasi tersebut tampak dari pencemaran udara, kerugian kesehatan, dan kecelakaan kerja yang semakin memperburuk kondisi masyarakat yang kini semakin rentan.
Secara historis, pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia selama era reformasi hanya mencapai 6,3 persen pada 2007. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, pertumbuhan stabil di angka 5 persen, jauh dari janji 7 persen. Namun, hal itu mengorbankan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan.
“Stagnasi 10 tahun terakhir telah memicu bencana alam dan memperlebar ketimpangan ekonomi. Ambisi 8 persen justru berisiko memperparah kondisi ini karena hanya menguntungkan segelintir orang kaya dan pejabat di lingkup pengelolaan SDA,” tambah Bhima.
Pemerintah juga bersikukuh dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen dengan narasi pajak bagi orang kaya. Bhima menilai bahwa kebijakan fiskal ini regresif dan tidak adil. Sebab, pemerintah mengabaikan pembahasan pajak progresif seperti pajak kekayaan, karbon, dan windfall profit tax, serta lebih memilih langkah mudah tanpa memperhatikan dampak jangka panjang.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia