Konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kendaraan bermotor di Indonesia sudah tidak sesuai dengan jenis kendaraan yang tersedia. BBM seperti solar, premium, dan pertalite mengandung zat-zat pencemar lingkungan. Kualitas udara yang buruk mengancam kesehatan masyarakat dan dalam jangka panjang mengurangi potensi bonus demografi.
Jakarta (Greeners) – Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin, mengatakan pemerintah harus segera menerapkan Standar Ekonomi Bahan Bakar atau Fuel Economy Standard. Hal ini untuk menekan pencemaran udara dari konsumsi BBM kendaraan bermotor.
Dia memastikan pihaknya akan terus mendorong penerapan standar tersebut paling cepat tahun 2021. Pasalnya, sumbangsih karbon dioksida (CO2) dari kendaraan bermotor pada tahun 2017 sebanyak 63,1 juta ton CO2 per tahun. Jumlah tersebut mampu meningkat menjadi 472 juta ton pada tahun 2030.
“Kita 2021 set up standar ini dan berharap pengetatannya pada 2025,” ujar Ahmad dalam webinar Economic Benefit Vehicular Emission Control, Selasa (3/2/2021).
Agenda Penerapan Standar Bahan Bakar Pemerintah Belum Jelas
Ahmad menjelaskan standar ini menerapkan batas maksimum mobilias kendaraan. Jika penerapannya pada tahun 2021 standar ini maksimum kendaraan hanya boleh beroperasi dengan emisi karbon 118 gram per kilometer dari jarak tempuh 20 km per liter. Sedangkan untuk tahun 2025 jarak tempuhnya menjadi 28 km per liter.
Dia mengungkapkan pihaknya telah mendorong penerapan standar tersebut pada tahun 2020. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Menurutnya, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, sudah membuat rancangan sesuai dengan standar tersebut. Hanya saja, jadwalnya masih belum jelas.
“Jadi pemerintah kedepannya bisa duduk bersama mendorong jadwal penetapan standarnya. Ini juga amanat Peraturan Presiden no. 22 tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional,” jelasnya.
KPBB Dorong Keadilan Penggunaan BBM
Lebih jauh, Ahmad menjelaskan penggunaan BBM yang lebih ramah lingkungan juga memiliki banyak keuntungan. Hanya saja, tantangannya adalah masih ada anomali penentuan harga pokok penjualan BBM.
Berkaca dari Malaysia, harga pokok penjualan BBM berstandar euro empat atau setara Pertamax Turbo relatif rendah hanya 2.200 rupiah per liter. Sedangkan di Indonesia sendiri harga pokok Pertamax Turbo sebesar 7,387 rupiah per liter.
“Harga pokok penjualan BBM kita terlalu mahal. Jadi ini sesuatu yang tidak fair di mana spesifikasi bahan bakar yang lebih rendah dengan harga pokok penjualan yang lebih tinggi,” ucapnya.
Regulasi Perlu Dukung Kendaraan Ramah Lingkungan
Ahmad menjelaskan perlu ada reformulasi sehingga masyarakat akan memeroleh keadilan dalam hal membeli BBM. Dengan begitu, sektor bahan bakar juga bisa memberi sumbangsih dalam pengendalian pencemaran udara tadi.
Dia menambahkan perlu ada regulasi dalam bentuk fiskal untuk pemenuhan standar karbon. Menurutnya, bagi kendaraan bermotor yang tidak memenuhi standar CO2 wajib membayar cukai sesuai dengan tingkat CO2 yang dihasilkan. Sementara bagi kendaraan yang lebih ramah lingkungan bisa dihargai dalam bentuk insentif sesuai dengan kadar karbon.
“Sehingga harga kendaran berkarbon tinggi akan lebih mahal dari kendaraan berkarbon rendah. Jadi kendaraan karbon rendah akan dicari dan jadi preferensi industri. Untuk pengendalian pencemaran udara, mengendalikan emisi CO2 ada implikasi penghematan BBM sehingga bisa mendatangkan keuntungan ekonomi,” pungkasnya.
Penulis Muhamad Ma’rup