KPA dan Sekelompok Petani Minta KPK Berantas Korupsi Agraria di Indonesia

Reading time: 3 menit
KPA menuntut memberantas korupsi agraria. Foto: KPA
KPA menuntut memberantas korupsi agraria. Foto: KPA

Jakarta (Greeners) – Bertepatan dengan peringatan Hari Tani Nasional 2024 pada 24 September, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Serikat Petani Pasundan (SPP) mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebanyak 500 massa yang mewakili 80 organisasi petani tersebut meminta KPK memberantas korupsi agraria di Indonesia.

Menurut data KPA pada 2023, selama dua periode pemerintahan Joko Widodo, tercatat 2.939 konflik agraria. Data ini mencakup luas 6,3 juta hektare dan berdampak pada 1,75 juta rumah tangga di seluruh Indonesia.

Sumber agraria saat ini masih sering dipandang berbeda oleh kelompok pemodal dan pemerintah. Para pihak tersebut melihat sumber agraria sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi demi akumulasi keuntungan ekonomi dan kekuasaan. Akibatnya, petani dan kelompok marjinal di pedesaan sering menjadi korban dan terjebak dalam konflik agraria. Bahkan, terpaksa tergusur dari tanah mereka.

Bertemunya kepentingan elit bisnis, politik, dan pemerintah untuk memperkaya diri serta kelompoknya juga berpotensi menimbulkan korupsi agraria, di mana adanya tindakan manipulatif dan pelanggaran hukum.

BACA JUGA: Refleksi Kemerdekaan : Porsi Rakyat Kelola Sumber Daya Alam Minim

Pakar Agraria Indonesia, Gunawan Wiradi menyatakan bahwa korupsi agraria muncul ketika sistem penguasaan dan distribusi tanah tidak terkelola dengan adil dan transparan. Hal ini seringkali melibatkan aktor yang memiliki akses ke kekuasaan politik dan ekonomi. Aktor tersebut menyalahgunakan posisi mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi atas penguasaan lahan yang seharusnya diperuntukkan bagi petani dan masyarakat.

“Korupsi agraria seringkali menjadi penyebab utama konflik agraria, di mana masyarakat yang tergantung pada tanah dan sumber daya alam terpinggirkan. Sementara, segelintir pihak mendapatkan keuntungan,” ungkap Gunawan lewat keterangan tertulisnya, Selasa (24/9).

Penanganan Korupsi Terpengaruh Motif Politik

Menurut Gunawan, saat ini penanganan korupsi agraria sering kali bersifat kasuistik dan tebang pilih dan terpengaruh oleh motif politik. Contohnya, kepala daerah yang menerima suap agar izin tambang dapat diperoleh dengan cepat.

Apabila KPK masih mempertahankan pandangan demikian, lanjutnya, maka KPK bersama DPR dan presiden perlu segera mereorientasi arah, tujuan, dan kemanfaatan institusi KPK. Hal itu termasuk memperbaharui modul pendidikan yang ada.

“Selama ini KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian masih mengabaikan dan sulit menangani pembongkaran korupsi agraria di lokasi-lokasi konflik. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan birokrat dan penegak hukum dalam memisahkan antara penyalahgunaan kekuasaan dan mandat undang-undang,” ujarnya.

Korupsi Agraria Kian Marak

Sementara itu, KPA telah menemukan bahwa korupsi agraria kini berkembang semakin buruk. Hal itu baik dari segi modus dan penyiasatan hukum agraria dan sumber daya alam (SDA). Salah satu contohnya adalah korupsi agraria dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan Proyek Strategis Nasional (PSN). Selama dua periode rezim Joko Widodo, berdasarkan catatan KPA, per Juli 2024 PSN telah menyebabkan 134 konflik agraria seluas 571 ribu hektare.

Korupsi agraria oleh Panitia Pengadaan Tanah, Pemerintah Daerah, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, dan Pengadilan meliputi manipulasi data tentang kondisi tanah, penambahan luas tanah, peningkatan jumlah penerima ganti rugi, dan pengurangan uang ganti rugi.

Salah satu kasus yang KPA temukan adalah di PSN Bandara Kertajati. Pada kasus ini, panitia pengadaan tanah memotong paksa uang ganti rugi sebesar 50% tanpa sepengetahuan petani.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan apabila modus semacam ini diterapkan pada 500 ribu hektare PSN, dengan rata-rata ganti rugi satu hektare sebesar Rp200 juta, negara rugi Rp100 triliun akibat korupsi dan pemotongan uang ganti rugi saja.

BACA JUGA: Konflik Agraria dan Sumber Daya di Tengah Pandemi

Contoh lain dari korupsi agraria yang melibatkan pengusaha dan pemerintah adalah penentuan proyek bisnis pengusaha sebagai PSN. Misalnya, untuk meningkatkan investasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), Presiden Joko Widodo mengundang sejumlah perusahaan besar untuk membangun pusat perhotelan, kawasan bisnis, dan perbelanjaan di IKN.

Kabarnya, sebagai politik balas jasanya, pemerintah melalui Menko Perekonomian menetapkan PIK 2 sebagai PSN–sebuah proyek kelas premium yang sempat lama mangkrak.

“Hal ini tentu menguntungkan Agung Sedayu Group karena PIK2 seluas 2.650 hektare, dapat menikmati berbagai insentif keuangan, percepatan pengadaan tanahnya, dukungan regulasi sebab sudah berstatus PSN,” kata Dewi.

Usut Tuntas Penyalahgunaan Wewenang

Dengan melihat berbagai permasalahan agraria, KPA menuntut KPK untuk segera mengusut tuntas penyalahgunaan wewenang. Sebab, hal itu mengakibatkan kejahatan dan korupsi agraria oleh pemerintah, pengusaha, dan mafia tanah. Tindakan ini merugikan negara dan merampas kebebasan, hak hidup, serta hak atas tanah rakyat.

KPA juga mendukung agenda Reforma Agraria Sejati sebagai langkah untuk menyelamatkan kekayaan negara serta memulihkan dan menjamin hak atas tanah. Khususnya bagi petani, masyarakat adat, nelayan, dan perempuan.

Menurut KPA, KPK penting untuk menjadi bagian dari usaha bersama rakyat dalam membangun tatanan agraria yang adil, berdaulat, akuntabel, dan transparan. Hal ini bertujuan agar pengelolaan tanah dan kekayaan alam dengan cara yang beradab dan bermartabat. Selain itu, ini juga memastikan model pembangunan di pedesaan dan perkotaan bersifat memanusiakan manusia atas sumber-sumber agraria.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top