Jakarta (Greeners) – Korporasi sektor hutan dan perkebunan yang tergabung dalam asosiasi pengusaha baik Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) maupun Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini terkait beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang dianggap oleh perusahaan bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 88 yang di dalamnya mengandung prinsip pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dalam kasus pelanggaran lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Nur Hidayati berpendapat bahwa gugatan yang diajukan oleh korporasi ini bukan hanya berbahaya bagi lingkungan hidup, tetapi juga mengancam keselamatan hidup rakyat, bahkan bukan hanya bagi generasi hari ini tetapi juga generasi yang akan datang.
“Kita tahu, bahwa UU 32/2009 sesungguhnya berpedoman pada konstitusi, karena itulah UU 32/2009 ini kami nilai sebagai salah satu UU yang sangat progresif untuk melindungi lingkungan hidup dan keselamatan rakyat,” tegasnya seperti dikutip dari keterangan resmi yang diterima oleh Greeners, Jakarta, Senin (29/05).
BACA JUGA: RUU Perkelapasawitan Dikhawatirkan Tabrak UU Lingkungan
Nur Hidayati beranggapan kalau yang dilakukan oleh korporasi tersebut sebagai upaya sistematis korporasi skala besar melawan konstitusi dan undang-undang. Ia meyakini korporasi masih terus berupaya melemahkan negara dan supremasi hukum melalui berbagai upaya, termasuk judicial review yang dilakukan oleh APHI dan GAPKI skala besar ini.
Selain melalui judicial review, Nur Hidayati menilai korporasi juga terus melakukan manuver melawan regulasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Bahkan secara politik korporasi juga mendorong RUU Perkelapasawitan sambil terus memengaruhi opini publik dan menggeser masalah kebakaran hutan dan lahan gambut kepada masyarakat adat dan lokal. Korporasi mengklaim bahwa perkebunan sawit dan kebun kayu skala besar bukan penyebab deforestasi.
“Kini korporasi mencoba membangun logika hukum bahwa mereka yang dilanggar hak-haknya dengan membiaskan entitas korporasi skala besar sama dengan warga negara, padahal sesungguhnya mereka lah aktor yang paling bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia dalam peristiwa kebakaran hutan dan ekosistem rawa gambut. Praktik investasi yang selama ini dilakukan oleh kekuatan korporasi inilah yang justru banyak melanggar hak-hak dasar warga negara, merampas hak asasi manusia dan bahkan merampas hak lingkungan hidup itu sendiri,” ungkap Nur.
BACA JUGA: Pemerintah Mulai Merinci Implementasi NDC Indonesia
Sebagai informasi, APHI dan GAPKI menggugat sejumlah pasal dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satunya adalah Pasal 88 atau dikenal dengan pasal “Strict Liability” yang berbunyi:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Para Pemohon (APHI dan GAPKI) meminta Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir bersyarat terhadap Pasal 88 tersebut sehingga berbunyi: “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh orang yang bersangkutan.”
Penulis: Danny Kosasih