Jakarta (Greeners) – Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menyampaikan pidato Pernyataan Kepala Negara pada Conference of the Parties (COP) 21 UNFCCC di Paris, Perancis, pada Senin pukul 16. 30 waktu setempat. Dalam pidatonya, Presiden RI menyampaikan beberapa poin terkait masalah yang dihadapi Indonesia, khususnya mengenai kabut asap, dan komitmen pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.
Dikutip dari pidato resmi Presiden yang diterima oleh Greeners, kerentanan dan tantangan perubahan iklim di Indonesia tidak akan menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam aksi global menurunkan emisi. Indonesia, katanya, telah berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen dibawah business as usual pada tahun 2030 dan 41 persen dengan bantuan internasional.
Penurunan emisi dilakukan dengan mengambil langkah pada beberapa bidang. Di bidang energi misalnya, dilakukan dengan mengalihkan subsidi BBM ke sektor produktif. Penggunaan sumber energi terbarukan diharapkan meningkat hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional tahun 2025 dan pengolahan sampah menjadi sumber energi.
“Sedangkan di bidang tata kelola hutan dan sektor lahan, penurunan emisi dilakukan melalui penerapan one map policy, menetapkan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut serta pengelolaan lahan dan hutan produksi lestari. Saya hadir disini untuk memberikan dukungan politik kuat terhadap suksesnya COP 21,” ujar Presiden Jokowi seperti dikutip dari pidato resminya, Jakarta, Selasa (01/12).
Untuk restorasi ekosistem gambut, upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan, presiden menyatakan, El Nino yang panas dan kering telah menyebabkan upaya penanggulangan menjadi sangat sulit, namun dapat diselesaikan. Tentunya penegakan hukum secara tegas dilakukan dan langkah preventif telah disiapkan, dan sebagian mulai diimplementasikan dengan membentuk Badan Restorasi Gambut.
Menanggapi pidato presiden, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional, Abetnego Tarigan menyatakan bahwa penyampaian kesadaran kerentanan Indonesia terhadap dampak perubahan iklim adalah hal yang penting. Namun yang mesti menjadi perhatian khusus, di tengah kerentanan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap perubahan iklim, konversi terus terjadi.
“Sejak awal, kami telah mengkritik INDC Indonesia, yang dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, tidak menghitung emisi dari kebakaran hutan dan lahan. Padahal kita tahu, bahwa sumber emisi Indonesia sebagian besar dari Land Use, Land-Use Change and Forestry (LULUCF),” ujarnya.
Menurut Abetnego, pemerintah Indonesia harusnya mengukur ulang baseline emisi dari kejadian kebakaran hutan dan gambut, sehingga perlu menjadikan kebakaran hutan dan lahan dan juga tata kelola gambut sebagai salah satu hal yang paling mendasar.
Penetapan moratorium dan review izin pemanfaatan lahan gambut jika situasi seperti saat ini, tidak memiliki kekuatan signifikan karena kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Presiden melalui Inpres No. 8/2015 sangat lemah, terlebih tanpa ada review terhadap perizinan lama dan penegakan hukum.
“Terlebih jika dihubungkan dengan rencana pembangunan Indonesia sebagaimana yang termuat dalam RPJMN 2015-2019. Antara lain di sektor energi, pembangunan 35.000 megawatt, sebagian besar masih mengandalkan batubara, energi yang kotor yang justru akan semakin menaikkan emisi Indonesia. Bagaimana mungkin target menurunkan emisi karbon 29 persen pada 2030 dapat tercapai, jika karbon yang dihasilkan dari pembakaran batubara, justru meningkat 2 kali lipat dari 201 juta ton CO2 pada 2015 menjadi 383 juta ton CO2 pada 2024. Artinya, komitmen yang disampaikan oleh Presiden meragukan,” pungkasnya.
Sebelumnya, pada kesempatan yang berbeda, beberapa pemuda juga turut menyuarakan pandangan mereka terhadap isu perubahan iklim. Salah satu peserta dalam Indonesian’s Youth Climate Society, Cinthya (24), menyatakan bahwa lemahnya pemberdayaan pemuda adalah salah satu penyebab yang menyebabkan tingginya angka kerusakan lingkungan di ASEAN, termasuk di Indonesia. Hal ini, lanjutnya, menambah keacuhan pemuda terhadap lingkungan.
Cinthya bersama sembilan rekannya melakukan kajian yang merupakan bagian dari program ASEAN Power Shift 2015 yang diadakan 24-26 Juli lalu di Singapura. Program ini adalah ajang berkumpulnya para pemuda dari seluruh negara ASEAN untuk menciptakan sebuah platform mengenai perubahan iklim berdasarkan permasalahan yang ada di masing-masing negara ASEAN.
Penulis: Danny Kosasih/TW (G37)