Jakarta (Greeners) – Kementerian Pertanian Republik Indonesia (Kementan RI) menduga kuat beras plastik yang ditemukan di Bekasi, Jawa Barat masuk secara ilegal. Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Hasil Sembiring saat dihubungi oleh Greeners menyatakan bahwa beras yang mengandung plastik seperti yang banyak diributkan saat ini tidak mungkin mendapat izin untuk beredar di Indonesia.
Menurutnya, jika memang benar beras tersebut memiliki kandungan bahan berbahaya dan berasal dari Tiongkok, maka beras tersebut sudah jelas beras ilegal dan hal tersebut adalah sebuah bentuk tindakan kriminal.
“Dalam hal ini, polisi memang sudah dapat bergerak untuk menindak asal muasal beras sebelum dipasarkan melalui penjual. Selain itu, kita (Kementan) juga telah mengusulkan supaya setiap kemasan itu harus ada varietasnya apa. Menurut data kita, ada 300-an varietas beras yang terdata,” jelasnya, Jakarta, Sabtu (23/05).
Pada contoh yang lain, Hasil juga mencurigai bahwa ada kemungkinan kalau beras plastik tersebut dibuat di dalam negeri. Ia menduga, karena ada muatan ekonomi maka ada kemungkinan pedagang mencampur beras padi dengan beras plastik yang telah beredar di Bekasi.
“Kemungkinan beras itu bisa didatangkan dari luar, tapi kan kita enggak ada impor. Nah, yang kedua, kalau tidak ada impor, berarti kan itu beras dibuat di sini. Itu sangat berbahaya karena keamanan pangannya menyalahi undang-undang,” tambahnya.
Di hubungi secara terpisah, Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko memiliki pandangan yang berbeda. Ia beranggapan bahwa munculnya isu beras plastik seperti yang terjadi di Bekasi adalah dampak dari ketidak seriusan pemerintah dalam mengelola pangan.
Menurut Tejo, undang-undang pangan telah jelas mengamanatkan bahwa negara harus hadir dalam mengelola pangan secara berdaulat, baik itu dari sisi kualitas, kuantitas, maupun keamanan pangannya. Selain itu, lanjutnya, peran koordinasi antar lembaga terlihat sangat lemah, dan dianggap bahwa urusan beras ini hanya urusan lembaga tertentu.
Mengenai kasus beras plastik ini, lanjut Tejo, sebenarnya adalah salah satu bentuk pelanggaran hak masyarakat oleh pemerintah karena sudah mengabaikan hak masyarakat untuk mendapatkan perlindungan dari sisi keamanan pangan.
“Keresahan masyarakat dengan adanya beras plastik ini hanya gejala saja, namun inti masalahnya adalah ketiadaan perlindungan, termasuk di dalamnya ketidaktegasan pengelolaan. Akibatnya, ya masyarakat melihat ini dengan kacamata teori konspirasi, bahwa ada kepentingan di dalamnya,” tutup Tejo.
Sebagai informasi, hasil penelitian yang dilakukan oleh PT. Succofindo terhadap beras yang ditemukan di Bekasi, Jawa Barat terbukti mengandung Polyvinyl Chloride, yaitu bahan yang biasa digunakan untuk pembuatan pipa.
Uji laboratorium tersebut menggunakan sampel beras milik Dewi Septiani, penjual bubur di Perumahan Mutiara Gading Timur dan beras di toko milik Sembiring. Beras juga mengandung plastiser plastik seperti Benxyl Butyl Phtalate (BBT), Bis 2-ethylhexyl Phtalate (DEHP), dan Diisononyl Phtalate (DNIP). Ketiga bahan tersebut, merupakan pelembut yang biasa digunakan bersamaan dengan Polyvinil Chloride agar pipa mudah dibentuk. Jika dikosumsi secara terus-menerus, beras plastik tentunya berdampak buruk bagi kesehatan.
Penulis: Danny Kosasih