Palangkaraya (Greeners) – Kumkum merupakan salah satu tujuan wisata masyarakat di Palangkaraya. Lokasinya hanya 5 km dari pusat kota serta berdekatan dengan jembatan Kahayan, ikon Kota Palangkaraya yang membelah Sungai Kahayan. Berada di tepian Kahayan, Taman Wisata Kumkum memiliki suasana yang asri dan sejuk karena dipenuhi pohon karet yang cukup rindang. Selain itu, di tempat ini juga tersedia gubuk-gubuk dari kayu berupa rumah panggung yang bisa disewa per dua jam dengan harga yang cukup terjangkau.
Banyak orang menyebut Taman Wisata Kumkum ini sebagai kebun binatang kecil karena terdapat beberapa binatang khas Kalimantan yang menghuni tempat ini, seperti buaya Kalimantan, beruang madu, burung rangkong atau enggang, dan monyet.
Pada satu kesempatan, Greeners mengunjungi tempat ini dan mencari tahu kondisi satwa-satwa di yang beberapa di antaranya berstatus satwa dilindungi. Dari hasil pantauan pandangan mata, terlihat kondisi satwa-satwa tersebut berada dalam kandang yang tidak layak.
BACA JUGA: KLHK Akan Bentuk Sistem Pendataan Terhadap Satwa Liar Dilindungi
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Dahono Adji saat dikonfirmasi terkait izin tempat wisata tersebut mengatakan, tempat wisata sekaligus restoran dan kebun binatang mini ini dikelola oleh warga Dayak. Taman wisata tersebut memiliki beberapa satwa yang dilindungi seperti buaya Kalimantan, burung enggang dan beruang madu. Sedangkan satwa lainnya adalah satwa yang tidak dilindungi.
Beberapa waktu lalu, kata Bambang, Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah melalui Satuan Kerja Wilayah Satu telah mengunjungi tempat tersebut dan melakukan sosialisasi tentang satwa dilindungi. SKW Satu meminta pihak Taman Wisata Kumkum agar mengurus izin sebagai Lembaga Konservasi jika ingin terus memelihara satwa-satwa tersebut. Menurut Bambang, kendala utama yang dialami oleh Taman Wisata Kumkum saat ini adalah soal luas lahan.
“Dalam syarat pendirian Lembaga Konservasi dijelaskan kalau luasan kawasan Lembaga Konservasi minimal harus dua hektare, sedangkan Kumkum hanya 1,4 hektaer. Jadi rencananya nanti dari SKW Satu akan ke Kumkum untuk meminta yang bersangkutan menyerahkan satwa-satwa yang dilindungi tersebut,” katanya saat dihubungi oleh Greeners melalui sambungan telepon, Palangkaraya, Rabu (10/08).
Koordinator Save Our Borneo (SOB) Nordin Abah mengungkapkan, keberadaan Taman Wisata Kumkum seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai bentuk kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan satwa liar dilindungi.
Nordin menyatakan bahwa sekalipun pemerintah melalui SKW maupun BKSDA menyita satwa-satwa yang ada di Taman Wisata Kumkum, namun Kalimantan sudah tidak lagi memiliki wilayah untuk merawat, menyimpan dan melepasliarkan satwa liar.
“Saya rasa ini hanya masalah izin administrasi. Pemerintah seharusnya sudah mulai menerapkan pola kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. Lagipula, BKSDA juga harus tahu kalau Kalimantan sudah hampir tidak memiliki kawasan dan lahan untuk menampung, memelihara dan melepasliarkan satwa-satwa tersebut,” tegasnya.
BACA JUGA: Sumber Daya Genetik Akan Masuk Dalam Revisi UU Konservasi Keanekaragaman Hayati
Saat dikonfirmasi terkait keberadaan satwa dilindungi yang ada di Taman Wisata Kumkum, Marcos Tuwan, selaku pemilik taman wisata tersebut mengatakan bahwa seharusnya pemerintah lebih peka terhadap permasalahan lingkungan dan satwa yang lebih besar di Kalimantan Tengah. Menurutnya, keberadaan Taman Wisata Kumkum telah lama menjadi tempat hiburan yang representatif bagi masyarakat dan masih bertahan hingga saat ini.
“Kumkum ini satu-satunya tempat hiburan masyarakat yang representatif dan masih bertahan di kota Palangkaraya di tengah kehancuran hutan di Kalimantan Tengah,” ujarnya.
Selain itu, Marcos tidak menjawab dengan pasti apakah tempat wisata yang ia kelola telah memiliki izin sebagai Lembaga Konservasi atau tidak. Ia justru menyatakan, berbagai aturan yang dibuat oleh pemerintah mempersulit masyarakat kecil.
“Aturan pemerintah itu sangat berat, hanya pengusaha kelas Taman Safari atau Jatim Park yang mampu memenuhi aturan sesuai kebijakan pemerintah. Untuk masyarakat kecil, harusnya pemerintah bisa lebih bijaksana melihat persoalan pada masing-masing daerah dan jangan disamaratakan,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih