Jakarta (Greeners) – Konservasi tak sekadar memberi manfaat terhadap lestarinya flora dan fauna di Indonesia, tetapi juga secara ekonomi. Kuncinya dengan tetap berprinsip pada terjaganya ekosistem. Oleh karena itu butuh keterlibatan aktif dari berbagai pihak, termasuk swasta.
Keberadaan satwa liar ini memang tak hanya berpusat pada wilayah konservasi. Tetapi juga ada di wilayah hutan tanaman industri hingga hutan lindung area konsesi kebun sawit.
Guru Besar Fakultas Biologi Universitas Nasional (Unas) Jatna Supriatna mengatakan, sebagian besar masyarakat masih memiliki citra negatif terhadap satwa liar. Anggapannya satwa liar sebagai perusak, pemakan hewan ternak hingga pembunuh.
Padahal, mereka memiliki peran penting dalam menyeimbangkan lingkungan, stabilitas berbagai proses alam hingga bermanfaat secara ekonomi.
“Namun sayangnya masih sedikit yang melihat potensi besar ini. Kita lebih memilih cara instan yang merugikan alam,” katanya dalam Webinar Peran Pihak Swasta dalam Pengelolaan Konservasi Satwa Liar Langka dan Dilindungi di Luar Kawasan Dilindungi, Sabtu (10/12).
Ia menyebut, ancaman kepunahan keanekaragaman hayati, termasuk satwa liar tak lepas dari ancaman antropogenik yang berasal dari manusia. Mulai dari perdagangan ilegal, perburuan, konflik satwa, alih fungsi lahan hutan, hingga perubahan iklim.
Nilai Ekonomi dari Konservasi Berkelanjutan
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB menyebut, saat ini suhu bumi telah lebih dari 1,1 derajat Celcius. Bila mencapai 2 derajat Celcius, sambungnya maka akan melenyapkan 46 % hutan hujan.
Kondisi ini akan memicu punahnya keanekaragaman hayati. Perubahan iklim disebut-sebut juga berdampak pada kepunahan 37 % spesies pada tahun 2050.
“Eksploitasi alam seperti ini bukan hal baru. Tapi telah dilakukan manusia sejak abad ke 18 yang lalu dan berlanjut hingga sekarang,” imbuhnya.
Menurut Jatna upaya konservasi melalui keterlibatan semua pihak, termasuk swasta menghasilkan profit. Ia menyebut, potensi pemanfaatan kehati berdampak positif terhadap ekonomi.
Namun sayangnya, net value present (NVP) dari keuntungan konservasi Indonesia tahun 2007 masih rendah, yakni kurang dari $ 5.000 per hektare (ha).
Dalam hal ini, maka pihak pengelola kawasan konservasi seperti taman nasional juga harus lebih terbuka untuk berkolaborasi bersama pihak swasta. “Otoritas sepenuhnya bukan lagi hanya ada pada pemerintah, tapi kolaborasi dengan swasta hingga masyarakat adat sekitar. Tapi kuncinya tetap, untuk keberlanjutan,” paparnya.
Misalnya, pengembangan wisata birdwatching, yang merupakan bisnis wildlife tourism terbesar di dunia. Di Amerika, bisnis ini mampu meraup hingga $ 400 miliar per tahun untuk mengamati burung.
Indonesia, dengan kekayaan keanekaragaman hayati sangat berpotensi besar karena memiliki sekitar 1.794 burung dari 10.000 jenis burung di dunia dan 527 di antaranya endemik.
Hindari Konflik Satwa Liar
Manager Program and Fundraising Belantara Foundation Diny Hartiningtias menyatakan, salah satu satwa liar yang mendominasi wilayah luar konservasi yaitu gajah Sumatera, yakni sekitar 85 %. Ini sangat berpotensi menyebabkan konflik antar manusia.
Perkiraannya, saat ini terdapat setidaknya 2.400-2.800 gajah liar di 25 populasi yang terfragmentasi. Ia menyebut, keberadaan gajah di wilayah tanaman industri rentan terjadi.
“Karena pada area ini, terdapat sumber pakan yang melimpah dan mereka lebih aman di hutan tanaman industri dibanding ke perkampungan atau ke kebun masyarakat,” kata Diny.
Guna meminimalisir konflik satwa, ia menekankan pentingnya pembangunan koridor gajah yang memadai guna sebagai penghubung antar kantung gajah.
“Karena kantung habitat gajah relatif kecil dan tersebar sehingga butuh penghubung agar bisa berpindah dari habitat satu ke yang lain. Jadi menghindari jalan raya dan perkampungan warga,” imbuhnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin