Jakarta (Greeners) – Melalui Surat Keputusan Menteri Nomor SK. 32/Menlhk/Setjen/KUM.1/1/2020 yang ditetapkan pada 10 Januari 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara resmi melaksanakan pemutusan kerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat World Wildlife Fund (WWF) Indonesia. Pengakhiran kerja sama dinilai akan berdampak ke sejumlah program yang telah berjalan sejak 1998, termasuk kegiatan konservasi sumber daya alam dan ekosistem.
Dr. Ir. Mahawan Karuniasa Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia mengatakan kewenangan pemerintah di sektor lingkungan hidup masih dominan. Sehingga peran organisasi masyarakat nasional dan internasional penting untuk mendukung program pemerintah dalam meningkatkan upaya konservasi. Pengaruh pemutusan kemitraan ini, kata Mahawan, akan menutup peluang dan sokongan berbagai kegiatan pelestarian.
“Tentu pemutusan kemitraan dengan LSM Konservasi akan berdampak pada berkurangnya aktivitas dan batalnya dukungan lembaga lain ke Indonesia,” ujar Mahawan, melalui layanan pesan pendek, Selasa, 4 Februari 2020.
Baca juga: Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Perlu Diperbarui
Menurut Mahawan, perkara ini juga menjadi preseden buruk bagi kedua belah pihak. Karena mengindikasikan kegagalan dalam membangun konsensus antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah di bidang yang menjadi fokus kegiatan.
“Pemutusan kemitraan yang terjadi perlu menjadi momentum pemerintah untuk berupaya lebih inklusif. Bagi LSM juga harus mengedepankan konteks Indonesia, tidak hanya membawa agenda donor atau penyandang dana,” ujar Mahawan.
Ia menuturkan kasus pemutusan kerjasama WWF ini tentu berdampak terhadap upaya konservasi. Namun, besaran dampaknya masih memerlukan kecermatan lebih lanjut. Kontribusi lembaga masyarakat dapat menjadi bahan pembelajaran bagi masing-masing kelompok. Mahawan menyampaikan, organisasi juga perlu membuka diri untuk bekerja sama secara inklusif dengan legislatif maupun aktor non-negara (Non-State Actors).
Pelibatan Masyarakat dalam Kegiatan Konservasi Minim
Sementara itu, Manajer Kampanye Air, Pangan, Ekosistem Esensial, Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Wahyu Perdana mengatakan kunci perlindungan kawasan konservasi terletak pada Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Menurut Walhi, undang-undang tersebut perlu diperbaiki. Sebab pelibatan masyarakat adat dan lokal dalam kegiatan konservasi sangat minim.
“Bahkan sejumlah pasal justru mengancam keberadaan masyarakat di kawasan konservasi. Di sisi lain, ada celah yang dimanfaatkan oleh industri ekstraktif, di antaranya ketentuan soal pemanfaatan panas bumi dan sumber daya air di kawasan konservasi,” kata Wahyu.
Baca juga: Konservasi Keanekaragaman Hayati Dalam Perspektif Agama Islam
Menurut Wahyu, pemerintah semestinya berfokus pada upaya menemukan dan mengenalkan sistem pengelolaan konservasi di luar mekanisme negara, misalnya, Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM). Dengan adanya ketetapan tersebut, pemerintah akan terbantu dalam menjalankan pelestarian terutama di daerah terpencil dan jauh dari jangkauan aparat. Perlindungan yang dilaksanakan dengan keterlibatan penuh dari masyarakat, kata Wahyu, akan membuat konservasi Indonesia semakin efektif dan kaya.
Data Direktorat Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK mencatat, jumlah kawasan konservasi pada 2018 sebanyak 554 unit dengan luas total 27,13 juta hektar. Dengan rincian, 54 unit merupakan taman nasional dengan luas hampir 60 persen dari total kawasan konservasi.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani