Jakarta (Greeners) – Konflik agraria dan sumber daya alam yang melibatkan masyarakat, aparat keamanan, dan perusahaan masih terus terjadi di wilayah Indonesia. Di tengah imbauan pelaksanaan pembatasan fisik, korporasi dinilai memanfaatkan bencana pandemi Covid-19 untuk melakukan kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat, di tahun 2020 telah terjadi penangkapan dua warga di Kalimantan Tengah, perusakan rumah dan pembunuhan dua warga di Lahat, Sumatera Selatan, hingga pembubaran paksa tenda perjuangan warga Tumpang Pitu, Banyuwangi.
Sementara di Kalimantan Tengah, Direktur Eksekutif Walhi Kalteng, Dimas Novian Hartono mengatakan, sejak 2005 hingga kini setidaknya terjadi 345 konflik agraria. Dimas menjelaskan, pada 7 Maret 2020 lalu, dua warga Desa Penyang ditangkap di Mess Walhi Jakarta pukul 02.30 dini hari.
Penangkapan tersebut, kata dia, lantaran warga mempertahankan wilayah kelola mereka dari PT HMBP. Padahal, Badan Pertanahan Nasional setempat telah menyatakan bahwa lahan yang dipertahankan warga berada di luar Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan perusahaan.
Baca juga: Ekonomi Nelayan Kian Terpuruk di Tengah Pandemi Covid-19
“Mereka (warga) hanya mempertahankan 117 hektar. Secara hukum jelas perusahaaan tersebut melanggar dengan menyerobot lahan warga,” ucap Dimas saat konferensi pers virtual bersama empat Eksekutif Nasional Walhi daerah, Jumat, 3 April 2020.
Sementara, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jawa Timur Rere Christanto menyatakan ada upaya menunggangi masa pandemi Covid-19 dengan membubarkan aktivitas warga yang menolak tambang. Ia menuturkan, ketika rakyat diminta untuk melakukan pembatasan fisik maupun karantina mandiri, korporasi justru terus beroperasi.
Misalnya, di Banyuwangi Jawa Timur, ketika warga menolak ekspansi tambang emas Tumpang Pitu dengan membuat tenda di pintu masuk area pertambangan, mereka dibubarkan aparat keamanan dengan alasan melawan imbauan pembatasan fisik saat masa tanggap darurat pandemi.
Warga menolak pembubaran karena aktivitas pertambangan masih berlangsung. Mereka kemudian melanjutkan aksi dengan memblokir wilayah yang dimasuki kendaraan tambang. Pada Jumat sore, 27 Maret 2020 pemblokiran warga dibubarkan oleh aparat keamanan.
Alih Fungsi Lahan Ilegal
Adapun di Kuala Serapuh, Langkat, Sumatera Utara, sekitar 80 persen lahan diketahui telah beralih fungsi sebagai perkebunan sawit dan tambang berskala besar. Mayoritas lahan tambang dinilai tidak memiliki izin.
Dana Tarigan, Direktur Walhi Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Utara mengatakan, sebagian besar perkebunan sawit yang masuk ke dalam konsesi perhutanan sosial dan perkebunan kelapa sawit tidak memiliki izin. Ia menjelaskan mangrove yang ditanam warga untuk mencegah abrasi justru dibakar oleh oknum yang merupakan pekerja sawit dari perusahaan. Dana menilai pembakaran disengaja agar terjadi konflik horizontal antarwarga.
“Pemerintah harus memberikan perhatian khusus sehingga tidak ada kegiatan yang merugikan rakyat dan perampasan sumber daya alam di tengah Covid-19,” ucapnya.
Peran Pemerintah
Untuk menghentikan konflik agraria dan sumber daya di berbagai daerah, Walhi mendesak pemerintah untuk segera mengumpulkan data, menyelidiki, dan memastikan penyelesaian konflik yang telah melanggar hak asasi manusia.
Pemerintah juga diminta serius melakukan usaha pencegahan pandemi Covid-19. Misalnya dengan menghentikan seluruh aktivitas guna mencegah penyebaran virus melalui lalu lalang pekerja maupun aparat keamanan di wilayah pertambangan. “Kalau memang serius untuk pencegahan Covid-19, aktivitas korporasi harus segera dihentikan secara nasional maupun daerah,” kata Rere.
Penulis: Ridho Pambudi
Editor: Devi Anggar Oktaviani