Jakarta (Greeners) – Kerusakan ekologis semakin masif di Indonesia. Hal itu terungkap dalam Konferensi Tenurial 2023. Konferensi tersebut merupakan konsolidasi gagasan dan konsolidasi aksi lintas gerakan rakyat.
Konferensi ini memiliki keterhubungan dan tidak terpisahkan dengan konsolidasi sebelumnya. Lebih dari 1.550 orang dari organisasi masyarakat sipil lintas gerakan telah terkonsolidasi.
Pada Konferensi Tenurial 2023 ini, perwakilan dari sejumlah organisasi menyimpulkan bahwa selama pemerintahan Joko Widodo telah terjadi krisis agraria dan sumber daya alam (SDA). Selain itu, terdapat kerusakan demokrasi.
BACA JUGA: Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob
Krisis agraria-SDA terbukti dari banyaknya permasalahan struktural yang tidak terselesaikan. Misalnya, ketimpangan kepemilikan dan penguasaan agraria-SDA, puluhan juta hektar tanah rakyat mengalami konflik agraria, pangan yang tidak berdaulat, dan kemiskinan.
Alam Makin Rusak Akibat Masifnya Pembangunan
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi mengatakan, model pembangunan yang terus-menerus mementingkan modal dan kepentingan korporasi besar menjadi biang kerusakan alam. Hal itu dapat meningkatkan bencana ekologis dan memicu konflik sosial yang meresahkan.
“Namun, masalahnya tidak hanya sebatas lahan yang hilang. Masyarakat juga kehilangan pengetahuan lokal serta kekayaan tradisional yang selama ini menjadi penjaga alam dan sumber daya alam. Itu adalah kerugian yang sulit diukur,” ungkap Zenzi dalam keterangan pers.
Zenzi mengingatkan publik bahwa Provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat menjadi saksi bencana ekologis terbesar. Apalagi, pada tahun 2021-2022 telah terjadi banjir yang dahsyat.
Data dari BNPB menggambarkan kengerian tersebut. Sebanyak 24.379 rumah tenggelam dalam banjir. Lebih dari 112 ribu warga pun terpaksa meninggalkan rumah mereka, dan 15 jiwa tidak dapat bertahan.
“Bahkan, Presiden Jokowi menyatakan bahwa banjir ini adalah yang terparah dalam setengah abad terakhir,” lanjut Zenzi.
Konflik Agraria Rugikan 5,88 Juta Hektare Lahan
Catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) selama pemerintahan Presiden Joko Widodo (2015-2022) menyebut terdapat 2.710 konflik agraria yang telah merugikan 5,88 juta hektar lahan. Konflik-konflik ini berakar dari berbagai sektor. Di antaranya bisnis, pembangunan infrastruktur, pertambangan, hingga proyek-proyek strategis nasional dan destinasi pariwisata mewah.
“Kami melihat pemerintah justru mengeluarkan serangkaian regulasi yang tampaknya dirancang untuk memfasilitasi investasi dan kelompok-kelompok elit bisnis dan politik. Ini mencakup revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, hingga Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP),” ucap Deputi II Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi.
Erasmus juga mengatakan, selama satu dekade pemerintahan, Presiden Jokowi belum mampu memenuhi janji Nawacita. Reforma agraria yang seharusnya menjadi pilar kesejahteraan bagi seluruh rakyat tidak hanya gagal, melainkan juga meninggalkan rakyat semakin terpinggirkan.
Hasil diskusi Konferensi Tenurial 2023 menyimpulkan bahwa realisasi janji redistribusi tanah kepada rakyat, pengakuan masyarakat adat dan wilayahnya, permulihan ekologis, dan ekonomi rakyat mengalami kegagalan.
Kebebasan Sipil Terancam
Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menyoroti ancaman terhadap kebebasan sipil yang semakin membesar. Hal itu seiring dengan ekspansi investasi dan regulasi pro-investasi.
“Gerakan masyarakat sipil menghadapi tantangan yang sangat nyata. Terutama dalam pengecilan ruang publik yang semakin nyata (shrinking civic space),” kata Isnur.
Hal ini tercermin dalam aktivitas pengecaman oleh pemerintah di dunia maya, penutupan paksa forum-forum diskusi publik, serta stigmatisasi terhadap perjuangan masyarakat. Selain itu, aktivis dan demonstran juga semakin sering menghadapi kriminalisasi yang mengancam hak-hak sipil mereka.
BACA JUGA: Walhi Aceh Desak Pemerintah Tuntaskan Permasalahan Lingkungan
Konferensi Tenurial 2023 ini telah menjadi panggung untuk merayakan semangat perubahan, menyoroti ketidakadilan, dan mencari jalan keluar bersama untuk Indonesia yang lebih adil, lestari, dan inklusif. Suara rakyat menjadi kekuatan utama yang memandu langkah-langkah bersama ke depannya.
“Konferensi Tenurial ini adalah pusat konsolidasi gerakan rakyat, tempat kita memperkuat diri dan posisi gerakan. Bersama, kita akan menapaki jalan yang semakin kokoh dalam perjuangan rakyat,” ujar Ketua Steering Committee, Dewi Kartika.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia