Jakarta (Greeners) – Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TuK) mengatakan delapan perusahaan Indonesia di sektor industri bubur kertas memperoleh dana dari lembaga keuangan di Jepang dan Amerika Serikat. Jumlahnya sebesar Rp 254,5 trilun yang merupakan dana pinjaman maupun investasi. Namun, angka tersebut dinilai tidak seimbang dengan komitmen lingkungan yang dilakukan.
Pengampanye Transformasi untuk Keadilan (Tuk) Indonesia Linda Rosalina menuturkan temuan ke delapan perusahaan tersebut di antaranya APP Sinar Mas, RGE April, Kertas Nusantara, Marubeni, Alas Kusuma, Korindo, Oji Holdings, dan Djarum Forestry. Mereka terlibat dalam masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (Environtment, Science, and Governance–disingkat ESG). Bahkan penyandang dana terbesar, kata Linda, berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara.
“Dana Rp 254,5 triliun itu, 80 persen berasal dari lembaga keuangan berbasis di Taiwan, Indonesia, Jepang, dan Cina, seperti Bank of China, ICBC, Sumitomo Mitsui Trust. Dan 15 persen berasal dari lembaga keuangan Indonesia, seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Negara Indonesia (BNI). Penerima dana terbesar diberikan oleah Sinar Mas Group sebesar Rp103,6 triliun,”ujar Linda, di Jakarta Pusat, Senin (20/02/2019).
Baca juga: Pemerintah Susun Program Pencegahan Karhutla 2020
Linda menuturkan hal tersebut semakin diperparah dengan skor penilaian kebijakan masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Lembaga keuangan dari Cina, kata dia, menyediakan 41 persen dari pembiayaan untuk delapan perusahaan bubur kertas dan kertas, tetapi skor penilaian kebijakannya rata-rata hanya 1 persen. Lembaga keuangan Jepang memberikan 26 persen dari kredit kepada perusahaan pulp & paper, tetapi skor rata-ratanya 28 persen. Lembaga keuangan Indonesia memberikan 16 persen kredit, tetapi hanya mencetak rata-rata 4 persen dalam penilaian kebijakan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat di 2018, luas perizinan Hutan Tanaman Industri (HTI) bubur kertas mencapai 11,2 juta hektar dari 336 HTI. Sebagian besar perkebunan ini berada di provinsi Kalimantan Timur dan Utara, Kalimantan Barat, Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dinilai berkaitan dengan industri bubur kertas dan kertas. Menurut Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari, berdasar peta prioritas Badan Restorasi Gambut (BRG), ia menyebut dari 869 ribu hektar karhutla di 2015, sekitar 254 ribu berada di kawasan korporasi dan 216 ribu di konsesi khusus HTI.
“Selama kita melakukan investigasi, tidak ada upaya restorasi di lapangan. Seharusnya kalau berdasarkan Surat Keputusan Nomor 130 dan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 57, itu kan tidak boleh, habis terbakar direstorasi dan kawasan lindung gambut tidak boleh ditanami lagi,” ujar Okto.
Baca juga: Sebanyak 1.253 Perusahaan Harus Bertanggung Jawab atas Karhutla 2019
Sementara menurut Greenpeace, kebakaran terbesar yang terjadi pada 2015-2018 berada di kawasan Grup Sinar Mas dengan luas total mencapai 257.900 hektar, 10 sanksi perdata dan administrasi. Sedangkan Royal Golden Eagle (RGE)–April, RAPP, pemasok dan afiliasi seluas 55.600 hektar.
Greenpeace menganalisa, grup Asia Pulp and Paper (Sinar Mas) hingga kini tak menerima sanksi perdata atau administrasi secara serius. Meskipun konsesi lahan yang terbakar berada di wilayah mereka. Bahkan sampai 16 September 2019, menurut Greenpeace, terdeteksi 234 titik api di PT Arara Abadi, Riau. Sedangkan di grup April/RGE terdapat dua konsesi terbakar hingga 2019, yakni, PT Sumatera Riang Lestari (SRL) dengan luas lahan terbakar sebesar 14.700 hektar (2015-2018) dan PT Sumatera Silva Lestari (SSL), Riau, seluas 11.600 hektar.
Penulis: Dewi Purningsih
Editor: Devi Anggar Oktaviani