Jakarta (Greeners) – Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang bergerak di bidang pengelolaan sampah dan lingkungan hidup akan mengajukan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
Permohonan uji materi Perpres Percepatan PLTSa ini diajukan ke Mahkamah Agung (MA) oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), BaliFokus, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Greenpeace Indonesia, KRuHA dan Gita Pertiwi. Pengajuan uji materi ini dilakukan karena koalisi menilai regulasi tersebut telah mengabaikan prinsip kehati-hatian serta kesehatan warga dan lingkungan.
Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL, Margaretha Quina mengatakan bahwa Perpres ini hanya mempromosikan percepatan PLTSa teknologi termal yang justru tidak ramah lingkungan. Padahal UU Pengelolaan Sampah khususnya Pasal 29 ayat (1) huruf g, melarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis.
Alasan lain pengajuan uji materi ini dilakukan adalah karena lepasan pencemar berbahaya dan beracun dari PLTSa, termasuk pencemar yang bersifat persisten dan sulit dipulihkan kembali, sehingga bertentangan dengan UU Pengelolaan Sampah, UU Kesehatan dan UU Ratifikasi Konvensi Stockholm.
Percepatan PLTSa ini juga bertentangan dengan asas dan tujuan UU Pengelolaan Sampah, yang secara eksplisit menghendaki perubahan paradigma pengelolaan sampah ke arah pengurangan, komprehensif dan tidak hanya berfokus pada timbunan sampah di hilir.
“Perpres Percepatan PLTSa yang telah memberikan izin konstruksi untuk memulai pembangunan sebelum pengembang mendapatkan Izin Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, skema penunjukan langsung terhadap pengembang PLTSa, pembebanan biaya pembangunan proyek dan biaya pembelian listrik, yang sesungguhnya tidak layak secara ekonomi di dalam APBN ini juga berpotensi melanggar UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagalistrikan,” ujar Margaretha Quina di Jakarta, Selasa (07/06).
Senior Advisor BaliFokus, Yuyun Ismawati menyatakan, jenis sampah Indonesia umumnya adalah basah dan tidak mungkin pembakaran dapat dilakukan sesuai persyaratan teknis tanpa menambahkan bahan bakar fosil, dan proses pengeringan memakan biaya yang cukup signifikan dan memboroskan energi. Padahal, kesehatan lingkungan sudah jelas dijamin sebagai hak semua orang dan Indonesia memiliki komitmen internasional terkait pengurangan emisi dan lepasan POPs (persistent organic pollutants).
“Namun pemerintah justru mempromosikan teknologi yang akan mengeluarkan pencemar persisten, logam berat dan abu sisa bakaran yang bersifat B3 (berbahaya dan beracun, Red.),” katanya.
Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) ini telah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 13 Februari 2016. Isi dari Perpres ini adalah mempercepat pembangunan listrik berbasis sampah di beberapa kota besar.
Penulis: Danny Kosasih